Senin, 16 Januari 2012

Nafsu

PENGERTIAN NAFSU, JENIS-JENIS NAFSU,
DAN BAHAYA MENGIKUTI NAFSU

I.      PENDAHULUAN
            Setiap manusia pasti memiliki keinginan terhadap sesuatu. Itulah yang kemudian disebut hawa nafsu. Pada dasarnya manusia boleh saja memenuhi segala keinginannya selama keinginan itu tidak bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Namun ternyata begitu banyak manusia yg memenuhi segala keinginannya yg tidak benar tanpa kendali. Oleh karena itu di dalam Islam kita mengenal ada perintah berperang melawan hawa nafsu. Itu artinya kita harus bisa mengendalikan hawa nafsu bukan membunuh nafsu yg membuat kita tidak memiliki lagi keinginan terhadap sesuatu.
Menuruti hawa nafsu dalam arti negatif yakni menuruti segala keinginan yg tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan sifat yg tidak boleh kita miliki. Bila hal itu kita miliki akan sangat berbahaya tidak hanya bagi kita secara pribadi tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat luas.

II.      RUMUSAN MASALAH
            A. Apa pengertian hawa nafsu?
            B. Apa saja sifat - sifat hawa nafsu?
            C. Bagaimana memerangi hawa nafsu ?
            D. Apa hikmah menjauhi hawa nafsu?



III.       PEMBAHASAN
 A. Pengertian hawa nafsu
            Nafsu dalam bahasa Arab biasa disebut dengan Nafsus syai’ yang artinya sesuatu (jati diri). Sedangkan menurut kaum sufi,  “ ucapan kata Nafs bukan di maksudkan sebagai wujud atau acuan masalah”. Yang mereka maksudkan degan Nafs adalah sesuatu yang tercela dari sifat – sifat hamba, akhlak, dan perbuatannya.
            Nafsu itu adalah keinginan manusia yang tersirat dalam akal pikirannya. Nafsu ada yang baik, yaitu nafsu yang tidak bertentangan dengan hati nurani serta perintah-perintah dan larangan-larangan yang Allah tetapkan. Namun ada pula nafsu yang buruk, yaitu nafsu yang hanya untuk memenuhi keinginan pikirannya saja, tanpa melibatkan hati nurani dan ketetapan Allah.

 B. Sifat – sifat hawa nafsu
            Pada sifat yang pertama, termasuk hukum – hukum nafsu adalah hal – hal yang di larang setara dengan keharaman atau larangan yang bersifat di benci. Sedangkan pada sifat yang ke dua, berupa keburukan dan kehinaan akhlak. Inilah batasan globalnya. Kemudian rinciannya, seperti takabur, amarah, dendam, dengki, buruk akhlak, sedikit bersyukur, dan yang lainnya, yang tergolong akhlak tercela.
Nafsu itu adalah keinginan manusia yang tersirat dalam akal pikirannya. Nafsu ada yang baik, yaitu nafsu yang tidak bertentangan dengan hati nurani serta perintah-perintah dan larangan-larangan yang Allah tetapkan. Namun ada pula nafsu yang buruk, yaitu nafsu yang hanya untuk memenuhi keinginan pikirannya saja, tanpa melibatkan hati nurani dan ketetapan Allah. Berikut ini adalah jenis-jenis nafsu menurut Islam.

            Ada delapan kategori nafsu yaitu :
1.      Nafsu Ammaraah bissu’
2.      Nafsu Lawwaamah
3.      Nafsu Musawwalah
4.      Nafsu Muthmainnah
5.      Nafsu Mulhamah
6.      Nafsu Raadliyah
7.      Nafsu Mardliyah
8.      Nafsu Kaamilah


a . Nafsul Ammarah bissu’
            Nafsul ammarah adalah jiwa belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk , belum memperoleh tuntunan, belum menentukan mana yang manfaat dan mana yang mafsadat, tapi kebanyakan ia mendorong kepada hal hal yang tidak patut. Ia menimbulkan tindakan khianat dengan segala akibat – akibatnya yang tiada patut di puji, ia enggan menerima advies, gagasan dan saran, serta menganggap semua advies , gagasan dan saran merupakan lawan, penghalang maksudnya ,penarung tujuanya. Ia gembira menerima bisikan iblis dan syaitan yang menunjukan kepadanya jalan terkutuk dan ini lah sahabatnya yang digemarinya.
            Apabila nafsu telah melepaskan diri dari tentangan dan tidak mau menentang, bahkan menyerah dan patuh kepada kemauan syahwat dan ajakan – ajakan syaitan, maka nafsu yang sudah demikian disebut nafsu ammarrah bissu’ ( nafsu penyeru kejahatan ). Dalam kisah nabi Yusuf as dengan istri seorang raja, Allah SWT berfirman dalam surat Yusuf ayat 53 yang artinya kurang lebih :
 “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” ( Qs. Yusuf : 53 )[1]


b. Nafsu lawwamah
            Nafsu Lawwamah adalah jiwa yang telah mempunyai rasa insyaf dan menyesal sesudah melakukan suatu pelanggaran. Ia tidak berani melakukan secara terang – terangan dan tidak pula mencari cara kegelapan melakukan sesuatu, karna ia telah sadar akibat peker jaanya. Sayang sekali ia belum mampu dan kuat mengekang nafsu yang jahat, oleh karna itu ia masih selalu dekat dengan pekerjaan maksiat.
            Apabila nafsu itu tidak dapat seksama dan sempurna, bahkan selalu menentang dan melawan nafsu syahwat, maka nafsu yang demikian disebut nafsu nafsu Lawwamah ( nafsu pencela ), sebab ia selalu mencaci manusia yang punya nafsu itu, ketika ia teledor dan lalai berbakti kepada Tuhannya.
            Allah berfirman yang artinya kurang lebih :
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri)” ( QS. Al Qiammah : 2 ) [1530].
[1530] Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan.[2]

            Setelah ia kerjakan timbulah keinsyafan dan penyesalan, lalu ia mengharap agar kejahatanya jangan terulang lagi dan semoga di perolehnya ampunan.

c. Nafsu Musawwalah
Nafsu Musawwalah adalah jiwa yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk walaupun baginya mengerjakan yang baik itu sama halnya dengan melakukan yang buruk.ia melakukan yang buruk tiada berani dengan terang – terangan, tetapi di kerjakanya keburukan dengan sembunyi, karna padanya telah ada sifat malu. Malunya ini terhadap orang lain, bukan malu terhadap dirinya sendiri. Ia malu kalau orang lain mengetahui keburukan / kejahatan yang ia lakukan.


d. Nafsu Muthmainnah
            Nafsu Mutmainnah adalah jiwa yang mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik. Ia mendatangkan ketenangan jiwa, melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, membentengi serangan kekejian kejahatan, memukul mundur aneka musuh kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin, mendorong melakukan kebajikan serta menghambat pekerjaan kejahatan.
            Apabila nafsu itu telah menjadi tenang pada suatu hal dan bisa terhindar dari kegoncangan dan keraguan yang di sebabkan oleh tentangan beraneka syahwat, maka nafsu yang demikian di sebut nafsu Muthmainnah ( nafsu yang tenang ), sebagaimana dalam firman Allah SWT :
Hai jiwa yang tenang.  Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” ( Qs. Al Fajr : 27 – 28 )[3]

e. Nafsu Mulhammah
            Nafsu Mulhammah adalah jiwa yang memperoleh ilham dari Allah SWT, dikaruniai ilmu pemgetahuan, di hiasi oleh akhlakul mahmudah. Ia merupakan sumber sabar,syukur, dan ulet.

f. Nafsu Raadliyah
Nafsu Raadliyah adalah jiwa yang ridlo pada Allah SWT, mempunyai status yang baik dalam kesejahteraan, mensyukuri nikmat qona’ah atau merasa pada dengan apa yang ada.




g. Nafsu Mardliyah
            Nafsu Mardliyah adalah jiwa yang diridloi Allah SWT, keridloan mana bisa terlihat pada anugrah yang di berikanNYA berupa : senantiasa dzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliyaan.
Nafsu Mardliyyah adalah nafsu yang terbaik dan yang paling dicintai Allah. Nafsu ini adalah nafsu yang paling di ridhai Allah. adalah nafsu yang terbaik dan yang paling dicintai Allah. Nafsu ini adalah nafsu yang paling di ridhai Allah. Keridhaan tersebut terlihat pada anugrah yang diberikan-Nya berupa senantiasa berdzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliaan, sementara kemuliaan yang diberikan Allah SWT itu bersifat universal, artinya jika Allah memuliakannya, siapa pun tidak akan bisa menghinakannya, demikian pula sebaliknya orang yang dihinakan oleh Allah SWT, siapa pun tidak bisa memuliakannya.

h. Nafsu Kaamilah
            Nafsu Kaamilah adalah jiwa yang telah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah di kategorisasi cakap untuk: mengerjakan irsyaad dan menyempurnakan ikmaal terhadap hamba Allah, dia di gelari Mursyid dan mukammil. Ia telah tajalli asmaa wash shifaat, baqa bil laah, fanaa bil laah, ‘ilmuhu ‘ilmu ladunni min ‘indil laah.[4]




 C. Cara memerangi hawa nafsu
            Imam fauzan At Tasturi rahimahullah berkata : ”wasiat yang paling jelek adalah pembicaraan nafsu “.
            Mungkin kebiasaan manusia tidak menganggap pembicaraan nafsu sebagai dosa. Apabila murid mau menjaga diri, dengan meninggalkan pembicaraan nafsu, niscaya hatinya menyala dengan dzikir dan rahasia hatinya menjadi terpelihara. Pada saat itu syaitan akan menjauh dari hatinya sejauh – jauhnya. Begitulah Khathir syaitani ( gerak hati yang di pengaruhi syaitan ) yang masih suka mengganggu hatinya, tinggallah Khathir – Khathir nafsani ( gerak hati yang di pengaruhi nafsu ). Dan ketika itu tugasnya bertambah ringan, ia berusaha menembus Khathir – Khathir nafsani dan mengkokohkannya dengan pertimbangan ilmu.
            Perangilah nafsu dengan lapar, menurut ukuran yang di tentukan syara’, yakni mengurangi makan sedikit demi sedikit. Syekh Ibrahim mendahulukan lapar dengan yang lainnya, sebab lapar merupakan masalah terbesar yang menjadi tiang – tiang Thariqat, juga karena tidak ada sesuatu pun yang lebih cepat menundukkan nafsu selain lapar. Lapar dapat menundukkan raja – raja, apalagi selain raja. Disamping itu lapar bisa mengurangi bagian – bagian badan yang terdiri dari unsur tanah dan air, sesuai dengan ukuran, sehingga hatinya pun menjadi bersih. Karena seluruh anggota tubuh terpusat kepada hati secara khusus, juga karena gerak gerik nafsu tidak dapat berkurang, kecuali dengan lapar.
            Syekh Muhyiddin bin Al Arabi rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya, Al Futuhatul Nakkiyyah, “ sesungguhnya Allah ta’ala ketika menciptakan nafsu, Ia bertanya kepada nafsu : siapa Aku ? nafsu menjawab : siapa aku ? lalu Allah menempatkannya kedalam lautan lapar selama seribu tahun, kemudian Allah bertanya lagi : siapa Aku ? nafsu menjawab : Engkau adalah Tuhan ku “.
            Syekh Abu Sulaiman Ad Darani rahimahullah berkata : “ kunci amal – amal dunia adalah kenyang, dan kunci amal – amal akhirat adalah lapar “.
            Perkataan – perkataan beberapa ulama salaf tentang masalah lapar ini banyak sekali. Ketahuilah, lawan nafsumu dengan lapar dan jaga ( tidak tidur ) yang sungguh – sungguh, serta mengendalikan nafsu dengan melakukan amalan – amalan yang berat, agar nafsu menurut padamu, jika engkau ingin mengarahkannya untuk melaksanakan apa yang menjadi ridha Allah, karena nafsu belum di latih, bagaikan anak lembu yang di ajari memutar gilingan gandum sambil di tutup matanya oleh manusia. Maka dapat kau lihat, anak lembu itu akan kelaparan.[5]    

 D. hikmah meninggalkan hawa nafsu
            Perjuangan paling besar adalah meninggalkan hawa nafsu, maka jangan biarkan nafsu menguasai hari hari kita karena tak satupun permasalahan terselesaikan dengan mengedepankan nafsu amarah bahkan menyebabkan kondisi semakin parah, tujuan tidak terarah sehingga menyebabkan hidup semakin susah, dan tingkah laku serba salah. Oleh karena itu kembalilah ke fitrah mengalah bukan berarti kalah agar hidup lebih berkah.







 IV.     PENUTUP
Nafsu dalam bahasa Arab biasa disebut dengan Nafsus syai’ yang artinya sesuatu (jati diri). Sedangkan menurut kaum sufi,  “ ucapan kata Nafs bukan di maksudkan sebagai wujud atau acuan masalah”. Yang mereka maksudkan degan Nafs adalah sesuatu yang tercela dari sifat – sifat hamba, akhlak, dan perbuatannya.
            Nafsu itu adalah keinginan manusia yang tersirat dalam akal pikirannya. Nafsu ada yang baik, yaitu nafsu yang tidak bertentangan dengan hati nurani serta perintah-perintah dan larangan-larangan yang Allah tetapkan. Namun ada pula nafsu yang buruk, yaitu nafsu yang hanya untuk memenuhi keinginan pikirannya saja, tanpa melibatkan hati nurani dan ketetapan Allah.












DAFTAR PUSTAKA
Ahmad ameen, dan almarhum Muhammad ahmad jaadil maulana, al muthaala’atut taujeihiyah, materia akhlak, ramadhani, solo
Imam al qusyairy an naisabury, risalatul qusyairiyah (induk ilmu tasawuf), risalah gusti, Surabaya
Imam Ghazali, Keajaiban Hati, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 3
Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, Terjemah Minahus Saniyah Catatan Seorang Sufi, Pustaka Amani, Jakarta, hlm. 38

 


[1] Imam Ghazali, Keajaiban Hati, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 3
[2] Imam Ghazali, op.cit., hlm. 4
[3] Imam Ghazali, op.cit., hlm. 4
[4] Ahmad ameen, dan almarhum Muhammad ahmad jaadil maulana, al muthaala’atut taujeihiyah, materia akhlak, ramadhani, solo

[5] Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, Terjemah Minahus Saniyah Catatan Seorang Sufi, Pustaka Amani, Jakarta, hlm. 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar