PENDAHULUAN
Secara bahasa,
asal usul kata tasawuf masih diperdebatkan oleh para peneliti bidang tasawuf.
Ada beberapa kata yang diduga sebagai asal kata tasawuf. Ada yang mengatakan
dari kata Shauf ( bulu domba ), shofa ( bersih / jernih ), shuffah
( emper masjid nabi saw ), sufanah ( kayu yang bertahan tumbuh dipadang
pasir, kurus dan kering ) dan sebagainya.[1]
Secara istilah,
sebagaimana didefinisikan oleh Ibrahim Basyuni[2],
tasawuf ialah kesadaran fitrah yang mendorong jiwa yang jujur untuk berjuang
keras ( mujahadah ) dengan wujud mutlak ( Tuhan ). Pengertian diatas
menunjukkan bahwa tasawuf itu terdiri dari tiga unsur yaitu pertama,
unsur kesadaran fitrah yang disebut dengan al Bidayah, kedua,
unsur perjuangan keras yang disebut dengan al Mujahadah dan ketiga,
unsur berhubungan dengan Tuhan yang disebut dengan al Madzaqat ( rasa ).
Tujuan tasawuf
berbeda – beda antara ulama satu dengan yang lain. Para sufi sunny yakni
para sufi yang terikat ketat oleh tradisi ( sunnah ) nabi dan sahabat seperti
al Hawari, al Qusyairi, dan al Ghazali membatasi tujuan tasawuf hanya pada
hubungan dekat dengan Allah. Sedangkan para sufi filosof tidak membatasi
hubungan antara manusia dan Allah. Pembagian tasawuf bisa dilihat dari berbagai
hal. Dilihat dari tujuan mempelajarinya, dibagi menjadi tasawuf amali atau
akhlaqi dan tasawuf nadlari ( teoritis ).
RUMUSAN MASALAH
a. Kapan
perkembangan pemikiran Tasawuf ?
b. Kapan berdiri
Ordo – ordo Thariqat ?
PEMBAHASAN
a. Perkembangan pemikiran Tasawuf
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf
berasal dari gerakan Zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi Tasawuf.
Meskipun tidak persis dan pasti, corak Tasawuf dapat dilihat dengan batasan – batasan
waktu dalam rentang sejarah sebagai berikut :
1. Tasawuf abad
pertama dan kedua Hijriyah
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut
sebagai fase Tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun
ciri Tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut :
Ø Bercorak praktis ( amaliah )
Ø Bercorak kezuhudan
Ø Kezuhudan didorong rasa Khauf
Ø Sikap Zuhud dan Khauf berakar dari Nash ( dalil Agama )
Ø Sikap Zuhud untuk meningkatkan moral
Ø Sikap Zuhud didukung kondisi sosial politik.[3]
Pada tahun 600 – 700 M, tasawuf belum memiliki seperangkat konsepsi
yang runtut dan ia masih murni ajaran moral. Tanda yang menonjol adalah
asketisme ( zuhud ). Dalam islam, asketisme bukan berarti kependetaan atau
terputusnya kehidupan duniawi. Ia merupakan hikmah yang membuat kehidupan
duniawi tidak mempengaruhi kecenderungan kalbu seseorang, serta tidak membuat
seseorang mengingkari Tuhannya.
Secara umum, bisa
digambarkan bahwa tasawuf pada masa ini lebih tampil dalam bentuk ibadah dan
zuhud. Disini seseorang meninggalkan dunia dan menuju akhirat, secara teguh
berusaha melakukan hal – hal yang bisa menjadi taat dan dekat kepada Allah.
Kaum tasawuf islam membutuhkan waktu kira – kira dua abad untuk menemukan
kondisi demikian.
Dalam beribadah,
kebanyakan kaum sufi pada fase ini mencari tempat – tempat yang jauh dari
manusia. Tasawuf kemudian nyaris tidak keluar dari bentuk tingkah laku ( al
suluk ) dan kemampuan amaliah, yang ditujukan untuk menyucikan jiwa dan tubuh.
Pada fase ini tasawuf tidak banyak mementingkan kajian atau studi, disamping
tidak berusaha meletakkan teori maupun penyebaran fikiran.[4]
2. Tasawuf abad ke
III dan IV Hijriyah
Pada abad ini
mulai tersusun tasawuf sebagai ilmu dalam arti luas. Mulai dikenal konsep –
konsep seperti maqam, ma’rifat, tauhid, fana, hulul, dan sebagainya. Di abad ke
III bermunculanlah karya – karya tasawuf dari al Mahasibi, al Kharraj, al
Hakim, al Tirmidzi, dan al Junaid. Pada zaman ini terjadi pemisahan secara
metodis antara tasawuf ( dianggap sebagai hal – hal batiniyah ) dengan fiqh (
dianggap sebagai hal – hal lahiriyah ). Pada zaman ini tasawuf mencapai masa
keemasannya.
Dalam fase ini,
para sufi mulai melakukan kajian teoritis. Untuk itu, pertama tama mereka
berorientasi pada jiwa untuk disingkapkan rahasia – rahasianya, dijelaskan
segala kondisi maqamnya. Sebagai bukti, mereka membicarakan tentang keasyikan
dan kerinduan, takut dan harapan, cinta dan emosi, tiada dan ada, fana dan
kekal. Mereka mencari cinta Ilahi dimana saja bisa ditemukan. Mereka
membicarakan pemecahan terhadap banyak masalah mirip dengan kajian – kajian
psikologis.
Aliran yang
menonjol pada masa ini adalah tasawuf yang selalu merujuk pada nafas islam dan
yang kedua adalah tasawuf adalah sebagai penjernihan moral. Mereka menumbuhkan
konsep sendiri tentang hubungan manusia dengan Allah.[5]
3. Tasawuf abad ke
V Hijriyah
Fase ini disebut
sebagai fase konsolidasi, yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli
yaitu al Qur’an dan al Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny,
yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi ( sunnah ) nabi dan para sahabat. Fase
ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah
mulai melenceng dari koridor syari’ah atau tradisi ( sunnah ) nabi dan sahabat.
Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al Ghazali atau yang lebih dikenal
dengan al Ghazali. Tokoh lainnya adalah Abu al Qasim Abd al Karim bin Hawazin
bin Abd al Malik bin Thalhah al Qusyairi atau lebih dikenal dengan al Qusyairi.[6]
Pada abad ini,
tasawuf mulai dikembalikan lagi pada al Qur’an dan sunnah. Al Ghazali
mengkritik keras para teolog yang menjawab tantangan pemikiran tidak dengan
mengkaji, namun dengan membenturkan pendapat – pendapat, berdasarkan premis –
premis. Filsafat juga dikritik habis karena tidak mengantarkannya kepada
hakekat realitas. Menurutnya, dalam filsafat terkandung tipudaya, pengaburan,
dan imajinasi. Cuma dalam beberapa hal, seperti matematika dan logika sebagai
sesuatu yang diterima tanpa ragu.[7]
b. Berdirinya Ordo
Thariqat
Thariqah secara
bahasa berarti jalan atau metode. Sedangkan thariqah dalam istilah diartikan
sebagai metode praktis untuk membimbing seseorang pencari ( salik, talib,
murid ) dengan menelusuri jalan berfikir, merasa, dan bertindak melalui
tahapan – tahapan menuju pengalaman realitas ketuhanan ( haqiqat ).
Hubungan dengan pembimbing ( mursyid ) dengan yang dibimbing ( murid
) dan yang dibimbing dengan yang dibimbing lainnya lama kelamaan meningkat satu
persaudaraan thariqat yang disebut dengan ordo thariqat atau persaudaraan sufi.
Ordo thariqat pada
awalnya merupakan berkumpulnya para murid mengelilingi sang guru sufisme
terkenal untuk mencari peralihan melalui persatuan dan kebersamaan dan tidak
terkait dengan upacara tapabrata atau baiat apaun. Selanjutnya ordo thariqat
menjadi suatu ikatan yang sangat ketat dengan adanya berbagai aturan, seperti
baiat, silsilah, dan sebagainya.[8]
Adapun macam –
macam thariqat biasanya dihubungkan dengan nama peletak teknik wirid atau
dzikir yang khusus berlaku dalam aliran thariqat tertentu.
1. Thariqat
Qadiriyah
Qadiriyah adalah
nama thariqat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd al Qadir Jilani,
yang terkenal dengan sebutan Syaikh ‘Abd al Qadir Jilani al Ghawst atau Quthb
al Awliya’. Thariqat ini mempunyai posisi yang amat penting dalam sejarah
spiritualitas islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi
thariqat, tapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang thariqat di dunia
islam. Kendati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah
kematiannya, semasa hidup sang Syaikh telah memberikan pengaruh yang amat besar
pada pemikiran dan sikap umat islam. Dia dipandang sebagai sosok ideal dalam
keunggulan dan pencerahan spiritual. Namun generasi selanjutnya mengembangkan
sekian banyak legenda yang berkisar pada aktivitas spiritualnya sehingga muncul
beberapa kisah ajaib tentang dirinya.[9]
Thariqat ini
didirikan oleh beliau mengajak masyarakat kepada jalan yang benar. Kegiatan
thariqat beliau terpusat pada madrasah dan Ribat ( pesantren ) di
Baghdad semenjak tahun 521 H. Intuisi ini dipimpinnya sampai beliau wafat pada
tahun 561 H atau 1166 M.
2. Thariqat Naqsabandiyyah
Thariqat ini didirikan
oleh Muhammad bin Muhammad Baha’u al Din al Uwarisi al Bukhari al Naqsabandi.
Prinsip dasar dari thariqat Naqsabandiyah ada sebelas, yang merupakan delapan
dari ajaran ‘Abd al Khaliq al Gujdawani dan tiga dari Muhammad Baha’u al Din al
Naqsabandi.
Adapun ketiga
ajaran dasar yang ditetapkan oleh al Naqsabandi dalam thariqat ini adalah Wuquf
Zamani ( istirahat sementara ), Wuquf ‘Adadi ( istirahat numeris ),
dan Wuquf Qolbi ( istirahat hati ). Sedangkan kedelapan ajaran al
Gudjawani adalah Hosy dar dam ( kesadaran dalam bernafas ), Nazar bar
Qadam ( memperhatikan tiap langkah diri ), Safar dar Watan (
perjalanan mistik didalam diri ), Khalwah dar Anjuman ( kesendirian
dalam keramaian ), Yad Kard ( peringatan kembali ), Baz Kasyt (
kembali ), Nigah Dasyt ( memperhatikan pemikiran sendiri ), dan Yad
Dasyt ( pemusatan perhatian kepada Allah ).[10]
Berdasarkan
prinsip – prinsip tersebut, para penganut thariqat ini biasanya mempunyai sikap
yang wajar, tidak pernah mengenakan busana yang aneh – aneh didepan umum,
mereka tidak pernah melakukan kegiatan – kegiatan yang menarik perhatian,
selalu bersikap akomodatif dan tidak beroposisi. Bahkan sebagian dari tradisi
para Syaikh thariqat Naqsabandi adalah bekerja yang sepenuhnya dalam rangka
kemajuan sosial dan kultur dimana mereka berada.[11]
KESIMPULAN
Ø Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf
berasal dari gerakan Zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi Tasawuf.
Ø Ordo thariqat pada awalnya merupakan berkumpulnya para murid
mengelilingi sang guru sufisme terkenal untuk mencari peralihan melalui
persatuan dan kebersamaan dan tidak terkait dengan upacara tapabrata atau baiat
apaun. Selanjutnya ordo thariqat menjadi suatu ikatan yang sangat ketat dengan
adanya berbagai aturan, seperti baiat, silsilah, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Nasirudin,M.Ag., Pendidikan Tasawuf., RaSAIL., Semarang., 2010.
Ø Dr.M. Abdul Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Pusat
Studi Islam dan Safiria Insania Press., Yogyakarta., 2007.
Ø Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (et.al)., Mengenal & Memahami Tarekat –
Tarekat Muktabarah di Indonesia., Prenada Media., Jakarta., 2004.
Ø Zainul Adzfar, M.Ag., Epistimologi Pengalaman Keagamaan Dalam
Tradisi Tarekat., Laporan hasil Penelitian Kualitatif.
Ø Prof. Dr.H. M. Amin Syukur, MA., Pengantar Studi Islam., Lembkota.,
Semarang., 2006.
[1] Prof. Dr.H. M.
Amin Syukur, MA., Pengantar Studi Islam., Lembkota., Semarang., 2006., hlm.
173.
[2] Ibrahim
Basyuni., Nasy’ah al Tashawwuf al Islamy.
[3]
Nasirudin,M.Ag., Pendidikan Tasawuf., RaSAIL., Semarang., 2010., hlm. 15 – 21.
[4] Dr.M. Abdul
Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Pusat Studi Islam dan Safiria
Insania Press., Yogyakarta., 2007., hlm. 91 – 92.
[5] Dr.M. Abdul
Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Ibid., hlm. 93
[6] Ibid., hlm. 28
- 29
[7] Dr.M. Abdul
Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Ibid., hlm. 94
[8] Ibid., hlm.
115 - 116
[9] Dr. Hj. Sri
Mulyati, MA (et.al)., Mengenal & Memahami Tarekat – Tarekat Muktabarah di
Indonesia., Prenada Media., Jakarta., 2004., hlm. 26.
[10] Zainul Adzfar,
M.Ag., Epistimologi Pengalaman Keagamaan Dalam Tradisi Tarekat., Laporan hasil
Penelitian Kualitatif., hlm. 107 - 108
[11] Ibid., hlm.
108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar