Sabtu, 14 September 2013

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF DAN BERDIRINYA ORDO THARIQAT



PENDAHULUAN
            Secara bahasa, asal usul kata tasawuf masih diperdebatkan oleh para peneliti bidang tasawuf. Ada beberapa kata yang diduga sebagai asal kata tasawuf. Ada yang mengatakan dari kata Shauf ( bulu domba ), shofa ( bersih / jernih ), shuffah ( emper masjid nabi saw ), sufanah ( kayu yang bertahan tumbuh dipadang pasir, kurus dan kering ) dan sebagainya.[1]
            Secara istilah, sebagaimana didefinisikan oleh Ibrahim Basyuni[2], tasawuf ialah kesadaran fitrah yang mendorong jiwa yang jujur untuk berjuang keras ( mujahadah ) dengan wujud mutlak ( Tuhan ). Pengertian diatas menunjukkan bahwa tasawuf itu terdiri dari tiga unsur yaitu pertama, unsur kesadaran fitrah yang disebut dengan al Bidayah, kedua, unsur perjuangan keras yang disebut dengan al Mujahadah dan ketiga, unsur berhubungan dengan Tuhan yang disebut dengan al Madzaqat ( rasa ).
            Tujuan tasawuf berbeda – beda antara ulama satu dengan yang lain. Para sufi sunny yakni para sufi yang terikat ketat oleh tradisi ( sunnah ) nabi dan sahabat seperti al Hawari, al Qusyairi, dan al Ghazali membatasi tujuan tasawuf hanya pada hubungan dekat dengan Allah. Sedangkan para sufi filosof tidak membatasi hubungan antara manusia dan Allah. Pembagian tasawuf bisa dilihat dari berbagai hal. Dilihat dari tujuan mempelajarinya, dibagi menjadi tasawuf amali atau akhlaqi dan tasawuf nadlari ( teoritis ).
RUMUSAN MASALAH                                
            a. Kapan perkembangan pemikiran Tasawuf ?
            b. Kapan berdiri Ordo – ordo Thariqat ?
PEMBAHASAN
a. Perkembangan pemikiran Tasawuf
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan Zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi Tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak Tasawuf dapat dilihat dengan batasan – batasan waktu dalam rentang sejarah sebagai berikut :
            1. Tasawuf abad pertama dan kedua Hijriyah     
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase Tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun ciri Tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut :
Ø  Bercorak praktis ( amaliah )
Ø  Bercorak kezuhudan
Ø  Kezuhudan didorong rasa Khauf
Ø  Sikap Zuhud dan Khauf berakar dari Nash ( dalil Agama )
Ø  Sikap Zuhud untuk meningkatkan moral
Ø  Sikap Zuhud didukung kondisi sosial politik.[3]
Pada tahun 600 – 700 M, tasawuf belum memiliki seperangkat konsepsi yang runtut dan ia masih murni ajaran moral. Tanda yang menonjol adalah asketisme ( zuhud ). Dalam islam, asketisme bukan berarti kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi. Ia merupakan hikmah yang membuat kehidupan duniawi tidak mempengaruhi kecenderungan kalbu seseorang, serta tidak membuat seseorang mengingkari Tuhannya.
            Secara umum, bisa digambarkan bahwa tasawuf pada masa ini lebih tampil dalam bentuk ibadah dan zuhud. Disini seseorang meninggalkan dunia dan menuju akhirat, secara teguh berusaha melakukan hal – hal yang bisa menjadi taat dan dekat kepada Allah. Kaum tasawuf islam membutuhkan waktu kira – kira dua abad untuk menemukan kondisi demikian.
            Dalam beribadah, kebanyakan kaum sufi pada fase ini mencari tempat – tempat yang jauh dari manusia. Tasawuf kemudian nyaris tidak keluar dari bentuk tingkah laku ( al suluk ) dan kemampuan amaliah, yang ditujukan untuk menyucikan jiwa dan tubuh. Pada fase ini tasawuf tidak banyak mementingkan kajian atau studi, disamping tidak berusaha meletakkan teori maupun penyebaran fikiran.[4]

            2. Tasawuf abad ke III dan IV Hijriyah
            Pada abad ini mulai tersusun tasawuf sebagai ilmu dalam arti luas. Mulai dikenal konsep – konsep seperti maqam, ma’rifat, tauhid, fana, hulul, dan sebagainya. Di abad ke III bermunculanlah karya – karya tasawuf dari al Mahasibi, al Kharraj, al Hakim, al Tirmidzi, dan al Junaid. Pada zaman ini terjadi pemisahan secara metodis antara tasawuf ( dianggap sebagai hal – hal batiniyah ) dengan fiqh ( dianggap sebagai hal – hal lahiriyah ). Pada zaman ini tasawuf mencapai masa keemasannya.
            Dalam fase ini, para sufi mulai melakukan kajian teoritis. Untuk itu, pertama tama mereka berorientasi pada jiwa untuk disingkapkan rahasia – rahasianya, dijelaskan segala kondisi maqamnya. Sebagai bukti, mereka membicarakan tentang keasyikan dan kerinduan, takut dan harapan, cinta dan emosi, tiada dan ada, fana dan kekal. Mereka mencari cinta Ilahi dimana saja bisa ditemukan. Mereka membicarakan pemecahan terhadap banyak masalah mirip dengan kajian – kajian psikologis.
            Aliran yang menonjol pada masa ini adalah tasawuf yang selalu merujuk pada nafas islam dan yang kedua adalah tasawuf adalah sebagai penjernihan moral. Mereka menumbuhkan konsep sendiri tentang hubungan manusia dengan Allah.[5]
            3. Tasawuf abad ke V Hijriyah
            Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi, yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al Qur’an dan al Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny, yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi ( sunnah ) nabi dan para sahabat. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syari’ah atau tradisi ( sunnah ) nabi dan sahabat. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al Ghazali atau yang lebih dikenal dengan al Ghazali. Tokoh lainnya adalah Abu al Qasim Abd al Karim bin Hawazin bin Abd al Malik bin Thalhah al Qusyairi atau lebih dikenal dengan al Qusyairi.[6]
            Pada abad ini, tasawuf mulai dikembalikan lagi pada al Qur’an dan sunnah. Al Ghazali mengkritik keras para teolog yang menjawab tantangan pemikiran tidak dengan mengkaji, namun dengan membenturkan pendapat – pendapat, berdasarkan premis – premis. Filsafat juga dikritik habis karena tidak mengantarkannya kepada hakekat realitas. Menurutnya, dalam filsafat terkandung tipudaya, pengaburan, dan imajinasi. Cuma dalam beberapa hal, seperti matematika dan logika sebagai sesuatu yang diterima tanpa ragu.[7]

            b. Berdirinya Ordo Thariqat
            Thariqah secara bahasa berarti jalan atau metode. Sedangkan thariqah dalam istilah diartikan sebagai metode praktis untuk membimbing seseorang pencari ( salik, talib, murid ) dengan menelusuri jalan berfikir, merasa, dan bertindak melalui tahapan – tahapan menuju pengalaman realitas ketuhanan ( haqiqat ). Hubungan dengan pembimbing ( mursyid ) dengan yang dibimbing ( murid ) dan yang dibimbing dengan yang dibimbing lainnya lama kelamaan meningkat satu persaudaraan thariqat yang disebut dengan ordo thariqat atau persaudaraan sufi.
            Ordo thariqat pada awalnya merupakan berkumpulnya para murid mengelilingi sang guru sufisme terkenal untuk mencari peralihan melalui persatuan dan kebersamaan dan tidak terkait dengan upacara tapabrata atau baiat apaun. Selanjutnya ordo thariqat menjadi suatu ikatan yang sangat ketat dengan adanya berbagai aturan, seperti baiat, silsilah, dan sebagainya.[8]
            Adapun macam – macam thariqat biasanya dihubungkan dengan nama peletak teknik wirid atau dzikir yang khusus berlaku dalam aliran thariqat tertentu.
            1. Thariqat Qadiriyah
            Qadiriyah adalah nama thariqat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd al Qadir Jilani, yang terkenal dengan sebutan Syaikh ‘Abd al Qadir Jilani al Ghawst atau Quthb al Awliya’. Thariqat ini mempunyai posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi thariqat, tapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang thariqat di dunia islam. Kendati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidup sang Syaikh telah memberikan pengaruh yang amat besar pada pemikiran dan sikap umat islam. Dia dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan spiritual. Namun generasi selanjutnya mengembangkan sekian banyak legenda yang berkisar pada aktivitas spiritualnya sehingga muncul beberapa kisah ajaib tentang dirinya.[9]
            Thariqat ini didirikan oleh beliau mengajak masyarakat kepada jalan yang benar. Kegiatan thariqat beliau terpusat pada madrasah dan Ribat ( pesantren ) di Baghdad semenjak tahun 521 H. Intuisi ini dipimpinnya sampai beliau wafat pada tahun 561 H atau 1166 M.
            2.  Thariqat Naqsabandiyyah
            Thariqat ini didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Baha’u al Din al Uwarisi al Bukhari al Naqsabandi. Prinsip dasar dari thariqat Naqsabandiyah ada sebelas, yang merupakan delapan dari ajaran ‘Abd al Khaliq al Gujdawani dan tiga dari Muhammad Baha’u al Din al Naqsabandi.
            Adapun ketiga ajaran dasar yang ditetapkan oleh al Naqsabandi dalam thariqat ini adalah Wuquf Zamani ( istirahat sementara ), Wuquf ‘Adadi ( istirahat numeris ), dan Wuquf Qolbi ( istirahat hati ). Sedangkan kedelapan ajaran al Gudjawani adalah Hosy dar dam ( kesadaran dalam bernafas ), Nazar bar Qadam ( memperhatikan tiap langkah diri ), Safar dar Watan ( perjalanan mistik didalam diri ), Khalwah dar Anjuman ( kesendirian dalam keramaian ), Yad Kard ( peringatan kembali ), Baz Kasyt ( kembali ), Nigah Dasyt ( memperhatikan pemikiran sendiri ), dan Yad Dasyt ( pemusatan perhatian kepada Allah ).[10]
            Berdasarkan prinsip – prinsip tersebut, para penganut thariqat ini biasanya mempunyai sikap yang wajar, tidak pernah mengenakan busana yang aneh – aneh didepan umum, mereka tidak pernah melakukan kegiatan – kegiatan yang menarik perhatian, selalu bersikap akomodatif dan tidak beroposisi. Bahkan sebagian dari tradisi para Syaikh thariqat Naqsabandi adalah bekerja yang sepenuhnya dalam rangka kemajuan sosial dan kultur dimana mereka berada.[11]



KESIMPULAN
Ø  Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan Zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi Tasawuf.
Ø  Ordo thariqat pada awalnya merupakan berkumpulnya para murid mengelilingi sang guru sufisme terkenal untuk mencari peralihan melalui persatuan dan kebersamaan dan tidak terkait dengan upacara tapabrata atau baiat apaun. Selanjutnya ordo thariqat menjadi suatu ikatan yang sangat ketat dengan adanya berbagai aturan, seperti baiat, silsilah, dan sebagainya.

















DAFTAR PUSTAKA
Ø  Nasirudin,M.Ag., Pendidikan Tasawuf., RaSAIL., Semarang., 2010.
Ø  Dr.M. Abdul Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Pusat Studi Islam dan Safiria Insania Press., Yogyakarta., 2007.
Ø  Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (et.al)., Mengenal & Memahami Tarekat – Tarekat Muktabarah di Indonesia., Prenada Media., Jakarta., 2004.
Ø  Zainul Adzfar, M.Ag., Epistimologi Pengalaman Keagamaan Dalam Tradisi Tarekat., Laporan hasil Penelitian Kualitatif.
Ø  Prof. Dr.H. M. Amin Syukur, MA., Pengantar Studi Islam., Lembkota., Semarang., 2006.





[1] Prof. Dr.H. M. Amin Syukur, MA., Pengantar Studi Islam., Lembkota., Semarang., 2006., hlm. 173.
[2] Ibrahim Basyuni., Nasy’ah al Tashawwuf al Islamy.
[3] Nasirudin,M.Ag., Pendidikan Tasawuf., RaSAIL., Semarang., 2010., hlm. 15 – 21.
[4] Dr.M. Abdul Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Pusat Studi Islam dan Safiria Insania Press., Yogyakarta., 2007., hlm. 91 – 92.
[5] Dr.M. Abdul Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Ibid., hlm. 93
[6] Ibid., hlm. 28 - 29
[7] Dr.M. Abdul Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Ibid., hlm. 94
[8] Ibid., hlm. 115 - 116
[9] Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (et.al)., Mengenal & Memahami Tarekat – Tarekat Muktabarah di Indonesia., Prenada Media., Jakarta., 2004., hlm. 26.
[10] Zainul Adzfar, M.Ag., Epistimologi Pengalaman Keagamaan Dalam Tradisi Tarekat., Laporan hasil Penelitian Kualitatif., hlm. 107 - 108
[11] Ibid., hlm. 108

Tidak ada komentar:

Posting Komentar