Sabtu, 14 September 2013

STUDI KITAB TAFSIR ASH SHOBUNI



PENDAHULUAN
            Upaya untuk mengetahui isi al Qur’an terus dilakukan dari masa ke masa. Hal ini ditandai dengan adanya usaha penafsiran oleh ulama – ulama tafsir yang kemudian banyak melahirkan kitab – kitab tafsir dalam berbagai versi dan sudut pandang. Hal ini karena dalam menafsirkan al Qur’an, seorang mufasir dengan mufasir yang lain tidak berada dalam ruang waktu yang sama. Artinya setiap mufasir mempunyai latar belakang sosial, pengalaman hidup dan penguasaan ilmu yang berbeda sehingga akan menghasilkan penafsiran yang berbeda pula terhadap kitab yang sama, al Qur’an.
            Oleh karena itu, agar tidak terjadi kerancauan dan kesalahan dalam membaca kitab tafsir yang berbeda itu, perlu diadakan penelitian terhadap kitab tafsir yang ada. Dengan begitu, umat islam yang awam tidak saling menyalahkan pendapat satu dengan yang lain dalam memahami al Qur’an. Penelitian ini juga ditujukan untuk memberi penjelasan terhadap masyarakat luas dimana letak perbedaan pendapat para ulama dan apa latar belakangnya.
PEMBAHASAN
a. Biografi Muhammad Ali ash Shobuni
            Beliau adalah Muhammad Ali Ash Shobuni. Lahir dikota Aleppo, Suriah, pada tanggal 1 Juli 1930. Syekh Ali Ash Shobuni bersama syekh Yusuf Qardhawi pernah ditetapkan sebagai tokoh muslim dunia 2007 oleh DIQA.
            Nama besar syeikh Ali Ash Shobuni begitu mendunia. Beliau merupakan seorang ulama dan ahli tafsir yang terkenal dengan keluasan dan kedalaman ilmu serta sifat wara’-nya. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ali ibn Ali ibn Jamil ash Shabuni. Syekh ash Shobuni dibesarkan oleh keluarga terpelajar. Ayahnya, syekh Jamil, merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo. Sejak usia anak – anak, ia sudah memperlihatkan bakat dan kecerdasan dalam menyerap berbagai ilmu agama. Diusianya yang masih belia, ash Shobuni sudah hafal al Qur’an. Tak heran bila kemampuannya ini membuat banyak ulama ditempatnya belajar sangat menyukai kepribadian syeikh Ali ash Shabuni.
            Salah satu guru beliau adalah sang ayah, Jamil ash Shabuni. Ia memperoleh pendidikan dasar dan formal mengenai bahasa Arab, ilmu waris, dan ilmu – ilmu agama dibawah bimbingan langsung sang ayah. Ia juga berguru kepada ulama terkemuka di Aleppo, seperti syeikh Muhammad Najib Sirajuddin, syeikh Ahmad ash Shama, syeikh Muhammad Said al Idlibi, syeikh Muhammad Raghib al Tabbakh, dan syeikh Muhammad Najib Khayatah.
            Untuk menambah pengetahuannya, syeikh ash Shabuni juga kerap mengikuti kajian – kajian para ulama lainnya yang biasa diselenggarakan di berbagai masjid. Setelah menamatkan pendidikan dasar, syeikh ash Shabuni melanjutkan pendidikan formalnya disekolah milik pemerintah, madrasah al Tijariyyah. Kemudian ia meneruskan pendidikan di sekolah khusus Syari’ah, Khaswariyya, yang berada di Aleppo.[1] Disana ia tidak hanya mempelajari ilmu – ilmu islam, tetapi juga mata pelajaran umum. Ia berhasil menyelesaikan pendidikannya dan lulus tahun 1949. Atas beasiswa dari departemen wakaf Suriah, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas al Azhar Kairo, Mesir, hingga selesai strata satu di fakultas Syari’ah pada tahun 1952. Dua tahun berikutnya, di universitas yang sama ia memperoleh gelar megister pada konsentrasi peradilan Syari’ah.
            Selepas dari Mesir, ash Shabuni kembali ke kota kelahirannya, beliau mengajar dibeberapa sekolah menengah atas yang ada di Aleppo. Pekerjaan sebagai guru sekolah menengah atas ini ia lakoni selama delapan tahun, dari tahun 1955 sampai 1962. Setelah itu ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di fakultas Syari’ah di universitas Umm al Qura’ dan fakultas pendidikan islam di universitas King Abdul Aziz. Kedua universitas ini berada dikota Mekkah. Ia menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di dua perguruan tinggi ini selama 28 tahun. Karena prestasi akademik dan kemampuannya dalam menulis, saat menjadi dosen di universitas Umm al Qura’, syeikh ash Shabuni pernah menyandang jabatan ketua fakultas Syari’ah. Ia juga dipercaya untuk mengepalai pusat kajian akademik dan pelestarian warisan islam.
            Disamping sibuk mengajar, syeikh Ali ash Shabuni juga aktif dalam organisasi Liga Muslim Dunia. Saat di Liga Muslim Dunia, ia menjabat sebagai penasehat para dewan riset kajian ilmiah mengenai al Qur’an dan Sunnah. Ia bergabung dalam organisasi ini selama beberapa tahun. Setelah itu ia mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis dan melakukan penelitian. Salah satu karyanya yang populer adalah Shafwatu at Tafaasir.[2]


b. Karya – karya Muhammad Ali ash Shabuni
            Beliau adalah sosok ulama mufasir yang kreatif dan produktif menulis. Beliau telah menulis beberapa kitab tafsir sebagai bentuk khidmah beliau pada al Qur’an dan Hadits, diantaranya :
1. Rawa’i al Bayan fi Tasair ayat al Ahkam min al Qur’an
            Kitab ini mengandung keajaiban tentang ayat – ayat hukum didalam al Qur’an. Kitab ini dalam dua jilid besar. Ia adalah kitab terbaik yang pernah dikarang perihal soal ini, sebab dua jilid ini telah dapat menghimpun pemikiran klasik dengan isi yang melimpah ruah serta ide dan pikiran yang subur, disamping pemikiran modern dengan gaya yang khas dengan segi penampilan, penyusunan, dan kemudian uslub dipihak lain. Selain itu, syeikh ash Shabuni telah nampak keistimewaannya dalam tulisan ini tentang keterus terangannya dan penjelasannya dalam menetapkan keobjektifan agama islam mengenai pengertian ayat – ayat hukum, dan tentang sanggahannya terhadap dalil – dalil beberapa musuh orang islam yang menyalahgunakan penanya dengan mempergunakan dirinya dengan menyerang nabi Muhammad saw , dalam hal pernikahan beliau dengan beberapa orang istri ( poligami ).
2. Al Tibyan fi Ulum al Qur’an ( Pengantar Studi al Qur’an )
            Awal mulanya, buku ini adalah diktat kuliah dalam ilmu al Qur’an untuk para mahasiswa fakultas Syari’ah dan Dirasah islamiyah di Mekkah al Mukarramah, dengan maksud untuk melengkapi bahan kurikulum fakultas serta keperluan para mahasiswa yang cinta kepada ilmu pengetahuan dan mendambakan diri dengan penuh perhatian kepadanya.
3. Al Nubuwah wa al Anbiya’ ( para nabi dalam al Qur’an )
            Buku yang mengupas tentang para nabi dalam al Qur’an. Buku ini dikemas secara ringkas, lantaran karya ini merupakan sebuah karya saduran dari sebuah kitab berbahasa Arab yang ditulis oleh syeikh Ali ash Shabuni.
4. Qabasun min Nur al Qur’an ( cahaya al Qur’an )
            Kitab tafsir ini diantaranya disajikan al Qur’an dari awal hingga akhir secara berurutan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Sehingga pola ini memberikan kemaslahatan tersendiri yang tidak didapatkan dikitab – kitab tafsir lain. Adapun bentuk penyajiannya ialah ayat demi ayat atau beberapa ayat yang terangkum dalam satu kelompok maknanya dan tema, yang karena itulah kitab ini disebut tafsir tematik.
5. Shafwah at Tafaasir
            Salah satu karya syeikh Ali ash Shabuni yang paling popular. Kitab ini terdiri dari tiga jilid, didalamnya menggunakan metode – metode yang sederhana, mudah dipahami, dan tidak bertele – tele ( tidak menyulitkan para pembaca ).
            Syeikh Ali ash Shabuni telah menyelesaikan tafsir ini secara terus menerus dikerjakan non stop siang malam selama lebih kurang menghabiskan waktu sampai lima tahun. Beliau tidak menulis sesuatu tentang tafsir sehingga ia membaca dulu apa – apa yang telah ditulis oleh para mufasir, terutama dalam masalah pokok – pokok dalam kitab tafsir, sambil memilih mana yang lebih relevan ( yang lebih cocok dan lebih unggul ).
            Shafwah at Tafaasir merupakan tafsir ringkas meliputi semua ayat al Qur’an. Kitab ini berdasarkan pada kitab – kitab tafsir terbesar, seperti al Thabari, al Kasyaf, al Alusi, Ibnu Katsir, dan lain – lain dengan uslub yang mudah, hadits yang tersusun ditunjang dengan aspek bayan dan kebahasaan. Shafwah at Tafaasir merupakan kumpulan materi – materi pokok yang ada dalam tafsir – tafsir besar yang terpisah disertai ikhtisar, tertib, penjelasan, dan bayan.[3]
c. Deskripsi umum kitab tafsir Shafwatu at Tafaasir
            1. Latar belakang penulisan
            Sebuah karya, apapun jenisnya, termasuk kitab tafsir dalam masa pembuatannya, pasti tidak dapat dipungkiri dari aspek kultur sosial yang mengelilinginya. Pada tahun 1930 lahir karya tafsir yaitu Shafwatu at Tafaasir yang disusun selama kurang lebih lima tahun sekaligus memberi kesan tersendiri bagi para sebagian kalangan ulama dan para pemerhati lainnya. Dari data yang didapat mengenai latar belakang penyusunan kitab ini, beliau menyebutkan :
Ø  Menjunjung kalimatullah untuk memberi pemahaman terhadap kebutuhan umat dalam memahami agama.
Ø  Keberadaan al Qur’an itu sendiri yang kekal dengan penuh keajaiban – keajaiban, penuh dengan mutiara – mutiara kehidupan, senantiasa memicu akal untuk mengkajinya.
Ø  Kenyataan semua ilmu akan hilang dimakan zaman, kecuali ilmu al Qur’an.
Ø  Kewajiban ulama tetap mesti menjadi jembatan bagi pemahaman umat terhadap al Qur’an dengan memberikan kemudahan dalam mengkajinya.
2. Tujuan penulisan
            Sudah barang tentu mempunyai faidah yang sangat tinggi dan berkedudukan mulia yang menjadi tujuan dari penulisan kitab ini. Sampai sekarang, baru dapat diasumsikan hal – hal yang menjadi tujuan penulisan kitab Shafwatu at Tafaasir ini, yaitu memberikan pemaparan dan penjelasan dengan mempermudah gaya penyampaiannya, serta memberikan faidah berupa jawaban – jawaban terhadap realita umat pada masanya.[4]
            3. Metode dan corak penafsiran
            Untuk mempermudah apa yang menjadi tujuan dari beliau dalam upaya memberikan pencerahan dalam memecahkan permasalahan zaman maka gaya pembahasan yang beliau lakukan yaitu melalui tahapan – tahapan metode, yaitu :
Ø  Mengumpulkan dan meng-intisari kitab – kitab tafsir induk serta mengambil argumen yang paling shohih.
Ø  Menyusun kategorisasi ayat – ayat untuk menjelaskan tiap – tiap permasalahan dalam surat dan ayat.
Ø  Menafsirkan kandungan surat secara ijmali seraya menjelaskan maksud – maksudnya yang mendasar.
Ø  Membahas munasabah antar ayat sebelum dan sesudahnya.
Ø  Menjelaskan aspek kebahasaannya secara etimologi dan menjelaskan perbandingannya dengan pendapat ahli bahasa Arab.
Ø  Menjelaskan asbabun nuzul.
Ø  Menjelaskan gaya bahasanya ( balaghah ).
Ø  Menjelaskan faidah – faidah dan hikmah – hikmah surat dan ayat.
Ø  Memberikan istinbath.
Mengingat penulis kitab Shafwatu at Tafaasir adalah seorang ulama yang hidup pada masa dimana aliran – aliran teolog telah ada ( sementara belum muncul lagi aliran teolog yang baru ), maka sudah dipastikan aliran pemahaman teologisnya akan mengikuti atau sepaham dengan para aliran teolog pendahulunya.




















KESIMPULAN
Beliau adalah Muhammad Ali Ash Shobuni. Lahir dikota Aleppo, Suriah, pada tanggal 1 Juli 1930. Syekh Ali Ash Shobuni bersama syekh Yusuf Qardhawi pernah ditetapkan sebagai tokoh muslim dunia 2007 oleh DIQA.
Salah satu karya syeikh Ali ash Shabuni yang paling popular adalah Shafwatu at Tafaasir. Kitab ini terdiri dari tiga jilid, didalamnya menggunakan metode – metode yang sederhana, mudah dipahami, dan tidak bertele – tele ( tidak menyulitkan para pembaca ).
Mengingat penulis kitab Shafwatu at Tafaasir adalah seorang ulama yang hidup pada masa dimana aliran – aliran teolog telah ada ( sementara belum muncul lagi aliran teolog yang baru ), maka sudah dipastikan aliran pemahaman teologisnya akan mengikuti atau sepaham dengan para aliran teolog pendahulunya.














DAFTAR PUSTAKA
Ø  Artikel al Haromain media Dzikir dan Fikir., Edisi Februari 2013.
Ø  http://fu-th.blogspot.com/2012/10/shofwatut-tafasir.html ( diakses pada hari rabu tanggal 15 Mei 2013 )





[1] Artikel al Haromain media Dzikir dan Fikir., Edisi Februari 2013., hlm. 16.
[2] http://biografiulamahabaib.blogspot.com/2012/12/biografi-singkat-mufassir-syaikh-ali_6083.html
[3] Artikel al Haromain media Dzikir dan Fikir.,ibid., hlm. 19.
[4] http://fu-th.blogspot.com/2012/10/shofwatut-tafasir.html

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF DAN BERDIRINYA ORDO THARIQAT



PENDAHULUAN
            Secara bahasa, asal usul kata tasawuf masih diperdebatkan oleh para peneliti bidang tasawuf. Ada beberapa kata yang diduga sebagai asal kata tasawuf. Ada yang mengatakan dari kata Shauf ( bulu domba ), shofa ( bersih / jernih ), shuffah ( emper masjid nabi saw ), sufanah ( kayu yang bertahan tumbuh dipadang pasir, kurus dan kering ) dan sebagainya.[1]
            Secara istilah, sebagaimana didefinisikan oleh Ibrahim Basyuni[2], tasawuf ialah kesadaran fitrah yang mendorong jiwa yang jujur untuk berjuang keras ( mujahadah ) dengan wujud mutlak ( Tuhan ). Pengertian diatas menunjukkan bahwa tasawuf itu terdiri dari tiga unsur yaitu pertama, unsur kesadaran fitrah yang disebut dengan al Bidayah, kedua, unsur perjuangan keras yang disebut dengan al Mujahadah dan ketiga, unsur berhubungan dengan Tuhan yang disebut dengan al Madzaqat ( rasa ).
            Tujuan tasawuf berbeda – beda antara ulama satu dengan yang lain. Para sufi sunny yakni para sufi yang terikat ketat oleh tradisi ( sunnah ) nabi dan sahabat seperti al Hawari, al Qusyairi, dan al Ghazali membatasi tujuan tasawuf hanya pada hubungan dekat dengan Allah. Sedangkan para sufi filosof tidak membatasi hubungan antara manusia dan Allah. Pembagian tasawuf bisa dilihat dari berbagai hal. Dilihat dari tujuan mempelajarinya, dibagi menjadi tasawuf amali atau akhlaqi dan tasawuf nadlari ( teoritis ).
RUMUSAN MASALAH                                
            a. Kapan perkembangan pemikiran Tasawuf ?
            b. Kapan berdiri Ordo – ordo Thariqat ?
PEMBAHASAN
a. Perkembangan pemikiran Tasawuf
Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan Zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi Tasawuf. Meskipun tidak persis dan pasti, corak Tasawuf dapat dilihat dengan batasan – batasan waktu dalam rentang sejarah sebagai berikut :
            1. Tasawuf abad pertama dan kedua Hijriyah     
Fase abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase Tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Adapun ciri Tasawuf pada fase ini adalah sebagai berikut :
Ø  Bercorak praktis ( amaliah )
Ø  Bercorak kezuhudan
Ø  Kezuhudan didorong rasa Khauf
Ø  Sikap Zuhud dan Khauf berakar dari Nash ( dalil Agama )
Ø  Sikap Zuhud untuk meningkatkan moral
Ø  Sikap Zuhud didukung kondisi sosial politik.[3]
Pada tahun 600 – 700 M, tasawuf belum memiliki seperangkat konsepsi yang runtut dan ia masih murni ajaran moral. Tanda yang menonjol adalah asketisme ( zuhud ). Dalam islam, asketisme bukan berarti kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi. Ia merupakan hikmah yang membuat kehidupan duniawi tidak mempengaruhi kecenderungan kalbu seseorang, serta tidak membuat seseorang mengingkari Tuhannya.
            Secara umum, bisa digambarkan bahwa tasawuf pada masa ini lebih tampil dalam bentuk ibadah dan zuhud. Disini seseorang meninggalkan dunia dan menuju akhirat, secara teguh berusaha melakukan hal – hal yang bisa menjadi taat dan dekat kepada Allah. Kaum tasawuf islam membutuhkan waktu kira – kira dua abad untuk menemukan kondisi demikian.
            Dalam beribadah, kebanyakan kaum sufi pada fase ini mencari tempat – tempat yang jauh dari manusia. Tasawuf kemudian nyaris tidak keluar dari bentuk tingkah laku ( al suluk ) dan kemampuan amaliah, yang ditujukan untuk menyucikan jiwa dan tubuh. Pada fase ini tasawuf tidak banyak mementingkan kajian atau studi, disamping tidak berusaha meletakkan teori maupun penyebaran fikiran.[4]

            2. Tasawuf abad ke III dan IV Hijriyah
            Pada abad ini mulai tersusun tasawuf sebagai ilmu dalam arti luas. Mulai dikenal konsep – konsep seperti maqam, ma’rifat, tauhid, fana, hulul, dan sebagainya. Di abad ke III bermunculanlah karya – karya tasawuf dari al Mahasibi, al Kharraj, al Hakim, al Tirmidzi, dan al Junaid. Pada zaman ini terjadi pemisahan secara metodis antara tasawuf ( dianggap sebagai hal – hal batiniyah ) dengan fiqh ( dianggap sebagai hal – hal lahiriyah ). Pada zaman ini tasawuf mencapai masa keemasannya.
            Dalam fase ini, para sufi mulai melakukan kajian teoritis. Untuk itu, pertama tama mereka berorientasi pada jiwa untuk disingkapkan rahasia – rahasianya, dijelaskan segala kondisi maqamnya. Sebagai bukti, mereka membicarakan tentang keasyikan dan kerinduan, takut dan harapan, cinta dan emosi, tiada dan ada, fana dan kekal. Mereka mencari cinta Ilahi dimana saja bisa ditemukan. Mereka membicarakan pemecahan terhadap banyak masalah mirip dengan kajian – kajian psikologis.
            Aliran yang menonjol pada masa ini adalah tasawuf yang selalu merujuk pada nafas islam dan yang kedua adalah tasawuf adalah sebagai penjernihan moral. Mereka menumbuhkan konsep sendiri tentang hubungan manusia dengan Allah.[5]
            3. Tasawuf abad ke V Hijriyah
            Fase ini disebut sebagai fase konsolidasi, yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al Qur’an dan al Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny, yakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi ( sunnah ) nabi dan para sahabat. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syari’ah atau tradisi ( sunnah ) nabi dan sahabat. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al Ghazali atau yang lebih dikenal dengan al Ghazali. Tokoh lainnya adalah Abu al Qasim Abd al Karim bin Hawazin bin Abd al Malik bin Thalhah al Qusyairi atau lebih dikenal dengan al Qusyairi.[6]
            Pada abad ini, tasawuf mulai dikembalikan lagi pada al Qur’an dan sunnah. Al Ghazali mengkritik keras para teolog yang menjawab tantangan pemikiran tidak dengan mengkaji, namun dengan membenturkan pendapat – pendapat, berdasarkan premis – premis. Filsafat juga dikritik habis karena tidak mengantarkannya kepada hakekat realitas. Menurutnya, dalam filsafat terkandung tipudaya, pengaburan, dan imajinasi. Cuma dalam beberapa hal, seperti matematika dan logika sebagai sesuatu yang diterima tanpa ragu.[7]

            b. Berdirinya Ordo Thariqat
            Thariqah secara bahasa berarti jalan atau metode. Sedangkan thariqah dalam istilah diartikan sebagai metode praktis untuk membimbing seseorang pencari ( salik, talib, murid ) dengan menelusuri jalan berfikir, merasa, dan bertindak melalui tahapan – tahapan menuju pengalaman realitas ketuhanan ( haqiqat ). Hubungan dengan pembimbing ( mursyid ) dengan yang dibimbing ( murid ) dan yang dibimbing dengan yang dibimbing lainnya lama kelamaan meningkat satu persaudaraan thariqat yang disebut dengan ordo thariqat atau persaudaraan sufi.
            Ordo thariqat pada awalnya merupakan berkumpulnya para murid mengelilingi sang guru sufisme terkenal untuk mencari peralihan melalui persatuan dan kebersamaan dan tidak terkait dengan upacara tapabrata atau baiat apaun. Selanjutnya ordo thariqat menjadi suatu ikatan yang sangat ketat dengan adanya berbagai aturan, seperti baiat, silsilah, dan sebagainya.[8]
            Adapun macam – macam thariqat biasanya dihubungkan dengan nama peletak teknik wirid atau dzikir yang khusus berlaku dalam aliran thariqat tertentu.
            1. Thariqat Qadiriyah
            Qadiriyah adalah nama thariqat yang diambil dari nama pendirinya, yaitu ‘Abd al Qadir Jilani, yang terkenal dengan sebutan Syaikh ‘Abd al Qadir Jilani al Ghawst atau Quthb al Awliya’. Thariqat ini mempunyai posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi thariqat, tapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang thariqat di dunia islam. Kendati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidup sang Syaikh telah memberikan pengaruh yang amat besar pada pemikiran dan sikap umat islam. Dia dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan spiritual. Namun generasi selanjutnya mengembangkan sekian banyak legenda yang berkisar pada aktivitas spiritualnya sehingga muncul beberapa kisah ajaib tentang dirinya.[9]
            Thariqat ini didirikan oleh beliau mengajak masyarakat kepada jalan yang benar. Kegiatan thariqat beliau terpusat pada madrasah dan Ribat ( pesantren ) di Baghdad semenjak tahun 521 H. Intuisi ini dipimpinnya sampai beliau wafat pada tahun 561 H atau 1166 M.
            2.  Thariqat Naqsabandiyyah
            Thariqat ini didirikan oleh Muhammad bin Muhammad Baha’u al Din al Uwarisi al Bukhari al Naqsabandi. Prinsip dasar dari thariqat Naqsabandiyah ada sebelas, yang merupakan delapan dari ajaran ‘Abd al Khaliq al Gujdawani dan tiga dari Muhammad Baha’u al Din al Naqsabandi.
            Adapun ketiga ajaran dasar yang ditetapkan oleh al Naqsabandi dalam thariqat ini adalah Wuquf Zamani ( istirahat sementara ), Wuquf ‘Adadi ( istirahat numeris ), dan Wuquf Qolbi ( istirahat hati ). Sedangkan kedelapan ajaran al Gudjawani adalah Hosy dar dam ( kesadaran dalam bernafas ), Nazar bar Qadam ( memperhatikan tiap langkah diri ), Safar dar Watan ( perjalanan mistik didalam diri ), Khalwah dar Anjuman ( kesendirian dalam keramaian ), Yad Kard ( peringatan kembali ), Baz Kasyt ( kembali ), Nigah Dasyt ( memperhatikan pemikiran sendiri ), dan Yad Dasyt ( pemusatan perhatian kepada Allah ).[10]
            Berdasarkan prinsip – prinsip tersebut, para penganut thariqat ini biasanya mempunyai sikap yang wajar, tidak pernah mengenakan busana yang aneh – aneh didepan umum, mereka tidak pernah melakukan kegiatan – kegiatan yang menarik perhatian, selalu bersikap akomodatif dan tidak beroposisi. Bahkan sebagian dari tradisi para Syaikh thariqat Naqsabandi adalah bekerja yang sepenuhnya dalam rangka kemajuan sosial dan kultur dimana mereka berada.[11]



KESIMPULAN
Ø  Tasawuf mempunyai perkembangan tersendiri dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan Zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi Tasawuf.
Ø  Ordo thariqat pada awalnya merupakan berkumpulnya para murid mengelilingi sang guru sufisme terkenal untuk mencari peralihan melalui persatuan dan kebersamaan dan tidak terkait dengan upacara tapabrata atau baiat apaun. Selanjutnya ordo thariqat menjadi suatu ikatan yang sangat ketat dengan adanya berbagai aturan, seperti baiat, silsilah, dan sebagainya.

















DAFTAR PUSTAKA
Ø  Nasirudin,M.Ag., Pendidikan Tasawuf., RaSAIL., Semarang., 2010.
Ø  Dr.M. Abdul Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Pusat Studi Islam dan Safiria Insania Press., Yogyakarta., 2007.
Ø  Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (et.al)., Mengenal & Memahami Tarekat – Tarekat Muktabarah di Indonesia., Prenada Media., Jakarta., 2004.
Ø  Zainul Adzfar, M.Ag., Epistimologi Pengalaman Keagamaan Dalam Tradisi Tarekat., Laporan hasil Penelitian Kualitatif.
Ø  Prof. Dr.H. M. Amin Syukur, MA., Pengantar Studi Islam., Lembkota., Semarang., 2006.





[1] Prof. Dr.H. M. Amin Syukur, MA., Pengantar Studi Islam., Lembkota., Semarang., 2006., hlm. 173.
[2] Ibrahim Basyuni., Nasy’ah al Tashawwuf al Islamy.
[3] Nasirudin,M.Ag., Pendidikan Tasawuf., RaSAIL., Semarang., 2010., hlm. 15 – 21.
[4] Dr.M. Abdul Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Pusat Studi Islam dan Safiria Insania Press., Yogyakarta., 2007., hlm. 91 – 92.
[5] Dr.M. Abdul Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Ibid., hlm. 93
[6] Ibid., hlm. 28 - 29
[7] Dr.M. Abdul Karim, M.A., Pemikiran & Peradaban Islam., Ibid., hlm. 94
[8] Ibid., hlm. 115 - 116
[9] Dr. Hj. Sri Mulyati, MA (et.al)., Mengenal & Memahami Tarekat – Tarekat Muktabarah di Indonesia., Prenada Media., Jakarta., 2004., hlm. 26.
[10] Zainul Adzfar, M.Ag., Epistimologi Pengalaman Keagamaan Dalam Tradisi Tarekat., Laporan hasil Penelitian Kualitatif., hlm. 107 - 108
[11] Ibid., hlm. 108