Sabtu, 21 April 2012

INGKAR AS SUNNAH

INGKAR AS SUNNAH
I.          Pendahuluan
Kehujjahan sunnah sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’i yang menuturkan tentang kenabian Muhammad SAW.  Selain itu, keabsahan sunnah sebagai dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qath’i yang menyatakan, bahwa beliau tidak menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat) kecuali berdasarkan wahyu yang telah diwahyukan.  Semua peringatan beliau adalah wahyu yang diwahyukan.   Oleh karena itu, sunnah adalah wahyu dari Allah SWT, dari sisi maknanya saja, tidak lafadznya.   Sunnah adalah dalil syariat tak ubahnya dengan Al Quran.   Tidak ada perbedaan  antara Al Quran dan Sunnah dari sisi wajibnya seorang Muslim mengambilnya sebagai dalil syariat.
Hadis Nabi Muhammad SAW telah disepakati oleh mayoritas ulama dan umat Islam sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah kitab suci Al Qur’an. Berbeda dengan Al Qur’an yang semua ayat-ayatnya disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW secara mutawatir dan telah ditulis serta dikumpulkan sejak zaman Nabi masih hidup, serta dibukukan secara resmi sejak zaman khalifah Abu Bakar Asy-Shiddiq, sebagian besar hadis Nabi tidaklah diriwayatkan secara mutawatir dan pengkodifikasiannya pun baru dilakukan pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis, salah seorang khalifah Bani Umayyah. Hal yang disebutkan terakhir, didukung oleh beberapa faktor lainnya, oleh sekelompok kecil (minoritas) umat Islam dijadikan sebagai alasan untuk menolak otoritas hadis-hadis Nabi saw sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan. Dalam wacana ilmu hadis, dikenal dangan kelompok inkar al-sunnah.
Secara paradigma pemikiran dan pemahaman, sejarah inkar as sunnah memang sangat erat dengan golongan Khawarij, Mu’tazilah, dan Syi’ah . Dan dari segi benih kemunculan, mereka sudah tampak sejak masa sahabat. Bahkan, kabar tentang akan adanya orang yang mengingkari Sunnah sudah pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW. Tetapi, dari segi golongan atau kelompok yang terpisah dan berdiri sendiri, inkar as sunnah ini sesungguhnya tidak pernah eksis kecuali pada masa penjajahan kolonial Inggris di India sekitar abad delapan belas.

II.          Rumusan Masalah
            a. Apa pengertian ingkar as sunnah ?
            b. Bagaimana penjelasan kelompok Khawarij ?
            c. Bagaimana penjelasan kelompok Mu’tazilah ?
            d. Bagaimana penjelasan ingkar as sunnah di zaman modern ?
            e. Apa alasan ingkar as sunnah dan counter ?
III.          Pembahasan
            a. Pengertian ingkar as sunnah
            Kata ingkar as sunnah terdiri dari dua kata, yaitu “ingkar” dan “sunnah”. Kata ingkar berasal dari bahasa arab : اَنْكَرَ ىُنْكِرُ اِنْكَارًا yang mempunyai beberapa arti di antaranya: “tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu (antonim kata al ‘irfan, dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati). Misalnya firman Allah SWT yang artinya kurang lebih :
  
“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir} lalu mereka masuk ke (tempat) nya. Maka Yusuf Mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya.” (Q.S. Yusuf : 58) 

 Menurut sejarah ketika terjadi musim paceklik di Mesir dan sekitarnya, Maka atas anjuran Ya'qub, saudara-saudara Yusuf datang dari Kanaan ke Mesir menghadap pembesar-pembesar Mesir untuk meminta bantuan bahan makanan.
dan dalil lain nya yang artinya kurang lebih :

 
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S. An Nahl :83)

            Dari beberapa arti kata ingkar di atas dapat di simpulkan bahwa ingkar secara etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati yang di latar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain, misalnya karena gengsi, kesombongan, keyakinan, dan lain – lain. Sedangkan kata “sunnah” secara mendetail telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.
            Ada beberapa definisi ingkar as sunnah yang sifatnya masih sangat sederhana pembatasannya, diantaranya sebagai berikut :
1. Paham yang timbul dalam masyarakat islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai ajaran agama islam kedua setelah Al Qur’an.
2. Suatu paham yang timbul pada sebagian minoritas umat islam yang menolak dasar hukum islam dari sunnah shahih baik sunnah praktis atau secara formal dikondifikasikan para ulama, baik secara totalitas mutawatir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa ada alasan yang dapat diterima.
            Definisi kedua lebih rasional yang mengakumulasi berbagai macam ingkar as sunnah yang terjadi di sebagian masyarakat belakangan ini terutama, sedang definisi sebelumnya tidak mungkin terjadi karena tidak ada atau tidak mungkin seorang muslim mengingkari sunnah sebagai dasar hukum islam.[1]    
Ingkar as sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodelogi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya.
Ada tiga jenis kelompok ingkar as sunnah. Pertama, kelompok yang menolak hadits – hadits Rasulullah SAW secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadits – hadits yang tidak di sebutkan dalam Al qur’an secara tersurat atau tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadits – hadits mutawatir (di riwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau periodenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak hadits – hadits ahad (tidak mencapai derajat mutawatir) walaupun shahih. Mereka beralasan dalam surat An Najm ayat 28yang artinya kurang lebih :
 
Artinya :
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (Q.S. An Najm : 28)[2]

            b. Firqoh Khawarij
            Asal mula kaum Khawarij adalah orang – orang yang mendukung Sayyidina Ali. Akan tetapi, akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci Mu’awiyah karena melawan Sayyidina Ali khalifah yang sah. Mereka dinamakan Khawarij karena mereka memisahkan diri atau keluar dari jama’ah umat. Mereka menerima sebutan Khawarij dengan pengertian sebagai orang – orang yang keluar pergi berperang untuk menegakkan kebenaran.
            Hal ini mereka dasarkan dalam surat An Nisa’ ayat 100yang artinya kurang lebih :
 
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An Nisa’ : 100)
            Kaum Khawarij kadang – kadang menamakan diri mereka sebagai kaum Syurah, artinya orang – orang yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan ridha Allah SWT. Mereka mendasar pada surat Al Baqarah ayat 207 yang artinya kurang lebih :
 
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Al Baqarah : 207).
            Khawarij adalah nama yang sering di pakaikan kepada golongan ini. Perkataan tersebut berasal dari kata kerja Kharaja (telah keluar), dan mereka disebut Khawarij ialah karena mereka telah keluar dari golongan Ali ra., padahal tadinya mereka adalah sebagian dari pengikut – pengikutnya. Mereka sendiri menyebut diri mereka dengan syurah (pembeli), yang berarti bahwa mereka membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan duniawi. Arti ini sama dengan pengertian yang di atas, bahwa mereka mempertaruhkan kehidupan dunia untuk kepentingan kehidupan akhirat kelak. [3]
            Ajaran – ajaran pokok firqoh Khawarij ialah khalifah, dosa, dan imam. Apabila firqoh syi’ah berpendapat bahwa khalifah itu bersifat waratsah, yaitu warisan turun temurun, dan demikian pula yang terjadi kemudian khilafah – khilafah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah, maka berbeda sama sekali pendirian Khawarij ini tentang khilafah.mereka menghendaki kedudukan khalifah dipilih secara demokrasi melalui pemilihan bebas.
            Ciri khusus orang – orang Khawarij mempunyai pandangan yang radikal dan ekstrim, kecuali aliran al Ibadiyah yang pendapatnya agak moderat.

            c. Firqoh Mu’tazilah
            Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, artinya menyisihkan diri. Berbeda – beda pendapat orang tentang sebab musabab timbulnya firqoh Mu’tazilah itu.
            Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan – persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan – persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam “.
            Orang pertama yang membina aliran Mu’tazilah adalah Wasil bin Ata’. Sebagai dikatakan al Mas’udi, ia adalah Syaikh al Mu’tazilah wa qadilmuha, yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Disana ia belajar pada Abu Hasyim Abdullah Ibn Muhammad Ibn al Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al Basri.
            Ajaran pertama yang di bawa Wasil tentulah paham al manzilah bain al manzilatain, posisi di antara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan kafir, sebagai di sebut kaum Khawarij, dan bukan pula mukmin sebagai di katakan Murji’ah, tetapi fasiq yang menduduki posisi di antara posisi mukmin dan posisi kafir.
            Ajaran yang kedua adalah paham qodariah yang di anjurkan oleh Ma’bad dan Ghailan. Tuhan, kata Wasil bersifat bijaksana dan adil. Ia tidak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat hal – hal yang bertentangan dengan perintah-Nya. Dengan demikian manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufur nya, kepatuhan dan tidak kepatuhannya kepada Tuhan.
            Ajaran yang ketiga mengambil bentuk peniadaan sifat – sifat Tuhan dalam arti bahwa apa – apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar dzat Tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan.[4]
            Orang – orang Mu’tazilah giat mempelajari filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat – pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatiannya, karena menjunjung tinggi berfikir logis. Memang Mu’tazilah lebih mengutamakan akal pikiran, dan sesudah itu baru Al Qur’an dan hadits atau تَقْدِىْمُ الْعَقْلِ عَلَي النَّصِ  . hal ini berbeda dengan golongan Ahlus sunnah, yang mendahulukan Al Qur’an dan hadits, kemudian baru akal pikiran.



            d. Ingkar as sunnah di zaman modern
            Sejak abad ketiga sampai abad keempat belas Hijriah, tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan bahwa dikalangan umat islam terhadap pemikiran – pemikiran untuk menolak sunnah sebagai slah satu sumber syari’at islam, baik secara perorangan maupun kelompok. Pemikiran untuk menolak sunnah yang muncul pada abad I H (ingkar as sunnah klasik) sudah lenyap ditelan masa pada akhir abad III H.
            Pada abad keempat belas Hijriah, pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan, dan kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari ingkar as sunnah klasik. Apabila ingkar as sunnah klasik muncul di Bashrah, Irak akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan sunnah, ingkar as sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia islam.
            Muhammad Musthafa Azami menuturkan bahwa ingkar as sunnah zaman modern lahir di Kairo Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266 – 1323 H/ 1849 – 1905 M). Dengan kata lain, Syeikh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan ingkar as sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih diberi catatan, apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitabnya Adhwa ‘ala As Sunnah al Muhammadiyah itu benar.[5]

            e. Alasan ingkar as sunnah
            Diantara argumentasi yang dijadikan pedoman ingkar as sunnah adalah sebagai berikut :
a. Al Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu secara sempurna, bukan yang diterangkan. Jadi, Al Qur’an tidak perlu keterangan dari sunnah, jika Al Qur’an perlu keterangan, berarti tidak sempurna. Kesempurnaan Al Qur’an itu telah di terangkan Allah SWT dalam Al Qur’anyang artinya :

“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Q.S. Al An’am : 38)

[472] Sebahagian mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul Mahfudz dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul Mahfudz. dan ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan arti: dalam Al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.

“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. An Nahl : 89)
Dengan demikian makna kesempurnaan kandungan Al Qur’an bukan berarti memisahkannya dari sunnah, akan tetapi justru dengan mengkompromikan penjelasan sunnah sehingga manusia mampu memahaminya dengan benar dan tidak di tafsirkan sekehendak seseorang.
b. Penulisan sunnah dilarang, seandainya sunnah dijadikan dasar hukum islam pasti Nabi tidak melarang.
c. Al Qur’an bersifat qath’i ( pasti absolut kebenarannya ) sedangkan sunnah bersifat zhanni ( bersifat relatif kebenarannya ), maka jika terjadi kontradiksi antar keduanya, sunnah tidak dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru. Hal ini di dasarkan pada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang perintah menjauhi zhann seperti dalam surat Yunus ayat 36 :

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yunus : 36)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa seluruh sunnah zhann tidak dapat dijadikan hujjah dalam agama.
            Demikian diantara argumentasi ingkar as sunnah yang dikemukakan yang pada prinsipnya mereka menolak sunnah karena ketidaktahuannya baik dari segi keilmuan hadits atau sejarah terkodifikasinya. Disamping adanya pengaruh dari latar belakang pendidikan agama yang tidak memenahi dan buku – buku bacaan tulisan kaum orientalis atau yang sepemikiran dengan mereka. Jadi, jelaslah kiranya alasan – alasan ingkar as sunnah sangat lemah dan hanya mempermainkan agama semata.[6]



IV.          Kesimpulan
Kata ingkar as sunnah terdiri dari dua kata, yaitu “ingkar” dan “sunnah”. Kata ingkar berasal dari bahasa arab : اَنْكَرَ ىُنْكِرُ اِنْكَارًا yang mempunyai beberapa arti di antaranya: “tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu (antonim kata al ‘irfan, dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati).
Asal mula kaum Khawarij adalah orang – orang yang mendukung Sayyidina Ali. Akan tetapi, akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci Mu’awiyah karena melawan Sayyidina Ali khalifah yang sah. Mereka dinamakan Khawarij karena mereka memisahkan diri atau keluar dari jama’ah umat. Mereka menerima sebutan Khawarij dengan pengertian sebagai orang – orang yang keluar pergi berperang untuk menegakkan kebenaran.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan – persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan – persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam “.




















DAFTAR PUSTAKA
Dr.H. Abdul Majid khon, M.Ag., Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 27-29.
Drs. M. Agus Sholahudin, M.Ag dan Agus Suyadi,Lc. M.Ag., Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm.207.
Prof.Dr.K.H.salihun A. Nasir,M.Pd.I.,Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm.123-125
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, 2011, hlm. 40.












[1] Dr.H. Abdul Majid khon, M.Ag., Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 27-29.
[2] Drs. M. Agus Sholahudin, M.Ag dan Agus Suyadi,Lc. M.Ag., Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm.207.
[3] Prof.Dr.K.H.salihun A. Nasir,M.Pd.I.,Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm.123-125
[4] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, 2011, hlm. 40.
[5] Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., ibid., hlm. 215.
[6] Dr. H. Abdul Majid khon, M.Ag.,ibid, hlm. 36.

Senin, 16 Januari 2012

Nafsu

PENGERTIAN NAFSU, JENIS-JENIS NAFSU,
DAN BAHAYA MENGIKUTI NAFSU

I.      PENDAHULUAN
            Setiap manusia pasti memiliki keinginan terhadap sesuatu. Itulah yang kemudian disebut hawa nafsu. Pada dasarnya manusia boleh saja memenuhi segala keinginannya selama keinginan itu tidak bertentangan dengan aturan Allah dan Rasul-Nya. Namun ternyata begitu banyak manusia yg memenuhi segala keinginannya yg tidak benar tanpa kendali. Oleh karena itu di dalam Islam kita mengenal ada perintah berperang melawan hawa nafsu. Itu artinya kita harus bisa mengendalikan hawa nafsu bukan membunuh nafsu yg membuat kita tidak memiliki lagi keinginan terhadap sesuatu.
Menuruti hawa nafsu dalam arti negatif yakni menuruti segala keinginan yg tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ini merupakan sifat yg tidak boleh kita miliki. Bila hal itu kita miliki akan sangat berbahaya tidak hanya bagi kita secara pribadi tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat luas.

II.      RUMUSAN MASALAH
            A. Apa pengertian hawa nafsu?
            B. Apa saja sifat - sifat hawa nafsu?
            C. Bagaimana memerangi hawa nafsu ?
            D. Apa hikmah menjauhi hawa nafsu?



III.       PEMBAHASAN
 A. Pengertian hawa nafsu
            Nafsu dalam bahasa Arab biasa disebut dengan Nafsus syai’ yang artinya sesuatu (jati diri). Sedangkan menurut kaum sufi,  “ ucapan kata Nafs bukan di maksudkan sebagai wujud atau acuan masalah”. Yang mereka maksudkan degan Nafs adalah sesuatu yang tercela dari sifat – sifat hamba, akhlak, dan perbuatannya.
            Nafsu itu adalah keinginan manusia yang tersirat dalam akal pikirannya. Nafsu ada yang baik, yaitu nafsu yang tidak bertentangan dengan hati nurani serta perintah-perintah dan larangan-larangan yang Allah tetapkan. Namun ada pula nafsu yang buruk, yaitu nafsu yang hanya untuk memenuhi keinginan pikirannya saja, tanpa melibatkan hati nurani dan ketetapan Allah.

 B. Sifat – sifat hawa nafsu
            Pada sifat yang pertama, termasuk hukum – hukum nafsu adalah hal – hal yang di larang setara dengan keharaman atau larangan yang bersifat di benci. Sedangkan pada sifat yang ke dua, berupa keburukan dan kehinaan akhlak. Inilah batasan globalnya. Kemudian rinciannya, seperti takabur, amarah, dendam, dengki, buruk akhlak, sedikit bersyukur, dan yang lainnya, yang tergolong akhlak tercela.
Nafsu itu adalah keinginan manusia yang tersirat dalam akal pikirannya. Nafsu ada yang baik, yaitu nafsu yang tidak bertentangan dengan hati nurani serta perintah-perintah dan larangan-larangan yang Allah tetapkan. Namun ada pula nafsu yang buruk, yaitu nafsu yang hanya untuk memenuhi keinginan pikirannya saja, tanpa melibatkan hati nurani dan ketetapan Allah. Berikut ini adalah jenis-jenis nafsu menurut Islam.

            Ada delapan kategori nafsu yaitu :
1.      Nafsu Ammaraah bissu’
2.      Nafsu Lawwaamah
3.      Nafsu Musawwalah
4.      Nafsu Muthmainnah
5.      Nafsu Mulhamah
6.      Nafsu Raadliyah
7.      Nafsu Mardliyah
8.      Nafsu Kaamilah


a . Nafsul Ammarah bissu’
            Nafsul ammarah adalah jiwa belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk , belum memperoleh tuntunan, belum menentukan mana yang manfaat dan mana yang mafsadat, tapi kebanyakan ia mendorong kepada hal hal yang tidak patut. Ia menimbulkan tindakan khianat dengan segala akibat – akibatnya yang tiada patut di puji, ia enggan menerima advies, gagasan dan saran, serta menganggap semua advies , gagasan dan saran merupakan lawan, penghalang maksudnya ,penarung tujuanya. Ia gembira menerima bisikan iblis dan syaitan yang menunjukan kepadanya jalan terkutuk dan ini lah sahabatnya yang digemarinya.
            Apabila nafsu telah melepaskan diri dari tentangan dan tidak mau menentang, bahkan menyerah dan patuh kepada kemauan syahwat dan ajakan – ajakan syaitan, maka nafsu yang sudah demikian disebut nafsu ammarrah bissu’ ( nafsu penyeru kejahatan ). Dalam kisah nabi Yusuf as dengan istri seorang raja, Allah SWT berfirman dalam surat Yusuf ayat 53 yang artinya kurang lebih :
 “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” ( Qs. Yusuf : 53 )[1]


b. Nafsu lawwamah
            Nafsu Lawwamah adalah jiwa yang telah mempunyai rasa insyaf dan menyesal sesudah melakukan suatu pelanggaran. Ia tidak berani melakukan secara terang – terangan dan tidak pula mencari cara kegelapan melakukan sesuatu, karna ia telah sadar akibat peker jaanya. Sayang sekali ia belum mampu dan kuat mengekang nafsu yang jahat, oleh karna itu ia masih selalu dekat dengan pekerjaan maksiat.
            Apabila nafsu itu tidak dapat seksama dan sempurna, bahkan selalu menentang dan melawan nafsu syahwat, maka nafsu yang demikian disebut nafsu nafsu Lawwamah ( nafsu pencela ), sebab ia selalu mencaci manusia yang punya nafsu itu, ketika ia teledor dan lalai berbakti kepada Tuhannya.
            Allah berfirman yang artinya kurang lebih :
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri)” ( QS. Al Qiammah : 2 ) [1530].
[1530] Maksudnya: bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan.[2]

            Setelah ia kerjakan timbulah keinsyafan dan penyesalan, lalu ia mengharap agar kejahatanya jangan terulang lagi dan semoga di perolehnya ampunan.

c. Nafsu Musawwalah
Nafsu Musawwalah adalah jiwa yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk walaupun baginya mengerjakan yang baik itu sama halnya dengan melakukan yang buruk.ia melakukan yang buruk tiada berani dengan terang – terangan, tetapi di kerjakanya keburukan dengan sembunyi, karna padanya telah ada sifat malu. Malunya ini terhadap orang lain, bukan malu terhadap dirinya sendiri. Ia malu kalau orang lain mengetahui keburukan / kejahatan yang ia lakukan.


d. Nafsu Muthmainnah
            Nafsu Mutmainnah adalah jiwa yang mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik. Ia mendatangkan ketenangan jiwa, melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, membentengi serangan kekejian kejahatan, memukul mundur aneka musuh kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin, mendorong melakukan kebajikan serta menghambat pekerjaan kejahatan.
            Apabila nafsu itu telah menjadi tenang pada suatu hal dan bisa terhindar dari kegoncangan dan keraguan yang di sebabkan oleh tentangan beraneka syahwat, maka nafsu yang demikian di sebut nafsu Muthmainnah ( nafsu yang tenang ), sebagaimana dalam firman Allah SWT :
Hai jiwa yang tenang.  Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” ( Qs. Al Fajr : 27 – 28 )[3]

e. Nafsu Mulhammah
            Nafsu Mulhammah adalah jiwa yang memperoleh ilham dari Allah SWT, dikaruniai ilmu pemgetahuan, di hiasi oleh akhlakul mahmudah. Ia merupakan sumber sabar,syukur, dan ulet.

f. Nafsu Raadliyah
Nafsu Raadliyah adalah jiwa yang ridlo pada Allah SWT, mempunyai status yang baik dalam kesejahteraan, mensyukuri nikmat qona’ah atau merasa pada dengan apa yang ada.




g. Nafsu Mardliyah
            Nafsu Mardliyah adalah jiwa yang diridloi Allah SWT, keridloan mana bisa terlihat pada anugrah yang di berikanNYA berupa : senantiasa dzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliyaan.
Nafsu Mardliyyah adalah nafsu yang terbaik dan yang paling dicintai Allah. Nafsu ini adalah nafsu yang paling di ridhai Allah. adalah nafsu yang terbaik dan yang paling dicintai Allah. Nafsu ini adalah nafsu yang paling di ridhai Allah. Keridhaan tersebut terlihat pada anugrah yang diberikan-Nya berupa senantiasa berdzikir, ikhlas, mempunyai karomah, dan memperoleh kemuliaan, sementara kemuliaan yang diberikan Allah SWT itu bersifat universal, artinya jika Allah memuliakannya, siapa pun tidak akan bisa menghinakannya, demikian pula sebaliknya orang yang dihinakan oleh Allah SWT, siapa pun tidak bisa memuliakannya.

h. Nafsu Kaamilah
            Nafsu Kaamilah adalah jiwa yang telah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah di kategorisasi cakap untuk: mengerjakan irsyaad dan menyempurnakan ikmaal terhadap hamba Allah, dia di gelari Mursyid dan mukammil. Ia telah tajalli asmaa wash shifaat, baqa bil laah, fanaa bil laah, ‘ilmuhu ‘ilmu ladunni min ‘indil laah.[4]




 C. Cara memerangi hawa nafsu
            Imam fauzan At Tasturi rahimahullah berkata : ”wasiat yang paling jelek adalah pembicaraan nafsu “.
            Mungkin kebiasaan manusia tidak menganggap pembicaraan nafsu sebagai dosa. Apabila murid mau menjaga diri, dengan meninggalkan pembicaraan nafsu, niscaya hatinya menyala dengan dzikir dan rahasia hatinya menjadi terpelihara. Pada saat itu syaitan akan menjauh dari hatinya sejauh – jauhnya. Begitulah Khathir syaitani ( gerak hati yang di pengaruhi syaitan ) yang masih suka mengganggu hatinya, tinggallah Khathir – Khathir nafsani ( gerak hati yang di pengaruhi nafsu ). Dan ketika itu tugasnya bertambah ringan, ia berusaha menembus Khathir – Khathir nafsani dan mengkokohkannya dengan pertimbangan ilmu.
            Perangilah nafsu dengan lapar, menurut ukuran yang di tentukan syara’, yakni mengurangi makan sedikit demi sedikit. Syekh Ibrahim mendahulukan lapar dengan yang lainnya, sebab lapar merupakan masalah terbesar yang menjadi tiang – tiang Thariqat, juga karena tidak ada sesuatu pun yang lebih cepat menundukkan nafsu selain lapar. Lapar dapat menundukkan raja – raja, apalagi selain raja. Disamping itu lapar bisa mengurangi bagian – bagian badan yang terdiri dari unsur tanah dan air, sesuai dengan ukuran, sehingga hatinya pun menjadi bersih. Karena seluruh anggota tubuh terpusat kepada hati secara khusus, juga karena gerak gerik nafsu tidak dapat berkurang, kecuali dengan lapar.
            Syekh Muhyiddin bin Al Arabi rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya, Al Futuhatul Nakkiyyah, “ sesungguhnya Allah ta’ala ketika menciptakan nafsu, Ia bertanya kepada nafsu : siapa Aku ? nafsu menjawab : siapa aku ? lalu Allah menempatkannya kedalam lautan lapar selama seribu tahun, kemudian Allah bertanya lagi : siapa Aku ? nafsu menjawab : Engkau adalah Tuhan ku “.
            Syekh Abu Sulaiman Ad Darani rahimahullah berkata : “ kunci amal – amal dunia adalah kenyang, dan kunci amal – amal akhirat adalah lapar “.
            Perkataan – perkataan beberapa ulama salaf tentang masalah lapar ini banyak sekali. Ketahuilah, lawan nafsumu dengan lapar dan jaga ( tidak tidur ) yang sungguh – sungguh, serta mengendalikan nafsu dengan melakukan amalan – amalan yang berat, agar nafsu menurut padamu, jika engkau ingin mengarahkannya untuk melaksanakan apa yang menjadi ridha Allah, karena nafsu belum di latih, bagaikan anak lembu yang di ajari memutar gilingan gandum sambil di tutup matanya oleh manusia. Maka dapat kau lihat, anak lembu itu akan kelaparan.[5]    

 D. hikmah meninggalkan hawa nafsu
            Perjuangan paling besar adalah meninggalkan hawa nafsu, maka jangan biarkan nafsu menguasai hari hari kita karena tak satupun permasalahan terselesaikan dengan mengedepankan nafsu amarah bahkan menyebabkan kondisi semakin parah, tujuan tidak terarah sehingga menyebabkan hidup semakin susah, dan tingkah laku serba salah. Oleh karena itu kembalilah ke fitrah mengalah bukan berarti kalah agar hidup lebih berkah.







 IV.     PENUTUP
Nafsu dalam bahasa Arab biasa disebut dengan Nafsus syai’ yang artinya sesuatu (jati diri). Sedangkan menurut kaum sufi,  “ ucapan kata Nafs bukan di maksudkan sebagai wujud atau acuan masalah”. Yang mereka maksudkan degan Nafs adalah sesuatu yang tercela dari sifat – sifat hamba, akhlak, dan perbuatannya.
            Nafsu itu adalah keinginan manusia yang tersirat dalam akal pikirannya. Nafsu ada yang baik, yaitu nafsu yang tidak bertentangan dengan hati nurani serta perintah-perintah dan larangan-larangan yang Allah tetapkan. Namun ada pula nafsu yang buruk, yaitu nafsu yang hanya untuk memenuhi keinginan pikirannya saja, tanpa melibatkan hati nurani dan ketetapan Allah.












DAFTAR PUSTAKA
Ahmad ameen, dan almarhum Muhammad ahmad jaadil maulana, al muthaala’atut taujeihiyah, materia akhlak, ramadhani, solo
Imam al qusyairy an naisabury, risalatul qusyairiyah (induk ilmu tasawuf), risalah gusti, Surabaya
Imam Ghazali, Keajaiban Hati, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 3
Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, Terjemah Minahus Saniyah Catatan Seorang Sufi, Pustaka Amani, Jakarta, hlm. 38

 


[1] Imam Ghazali, Keajaiban Hati, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 3
[2] Imam Ghazali, op.cit., hlm. 4
[3] Imam Ghazali, op.cit., hlm. 4
[4] Ahmad ameen, dan almarhum Muhammad ahmad jaadil maulana, al muthaala’atut taujeihiyah, materia akhlak, ramadhani, solo

[5] Abdul Wahhab Asy-Sya’rani, Terjemah Minahus Saniyah Catatan Seorang Sufi, Pustaka Amani, Jakarta, hlm. 38