INGKAR
AS SUNNAH
I.
Pendahuluan
Kehujjahan
sunnah sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’i
yang menuturkan tentang kenabian Muhammad SAW. Selain itu, keabsahan
sunnah sebagai dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qath’i yang
menyatakan, bahwa beliau tidak menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat)
kecuali berdasarkan wahyu yang telah diwahyukan. Semua peringatan beliau
adalah wahyu yang diwahyukan. Oleh karena itu, sunnah adalah wahyu
dari Allah SWT, dari sisi maknanya saja, tidak lafadznya. Sunnah
adalah dalil syariat tak ubahnya dengan Al Quran. Tidak ada
perbedaan antara Al Quran dan Sunnah dari sisi wajibnya seorang Muslim
mengambilnya sebagai dalil syariat.
Hadis Nabi Muhammad SAW telah disepakati oleh
mayoritas ulama dan umat Islam sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah kitab
suci Al Qur’an. Berbeda dengan Al Qur’an yang semua ayat-ayatnya disampaikan
oleh Nabi Muhammad SAW secara mutawatir dan telah ditulis serta dikumpulkan
sejak zaman Nabi masih hidup, serta dibukukan secara resmi sejak zaman khalifah
Abu Bakar Asy-Shiddiq, sebagian besar hadis Nabi tidaklah diriwayatkan secara
mutawatir dan pengkodifikasiannya pun baru dilakukan pada masa khalifah Umar
bin Abdul Azis, salah seorang khalifah Bani Umayyah. Hal yang disebutkan
terakhir, didukung oleh beberapa faktor lainnya, oleh sekelompok kecil
(minoritas) umat Islam dijadikan sebagai alasan untuk menolak otoritas
hadis-hadis Nabi saw sebagai hujjah atau sumber ajaran Islam yang wajib ditaati
dan diamalkan. Dalam wacana ilmu hadis, dikenal dangan kelompok inkar
al-sunnah.
Secara
paradigma pemikiran dan pemahaman, sejarah inkar as sunnah memang sangat
erat dengan golongan Khawarij, Mu’tazilah, dan Syi’ah .
Dan dari segi benih kemunculan, mereka sudah tampak sejak masa sahabat. Bahkan,
kabar tentang akan adanya orang yang mengingkari Sunnah sudah pernah
disampaikan oleh Rasulullah SAW. Tetapi, dari segi golongan atau kelompok yang
terpisah dan berdiri sendiri, inkar as sunnah ini sesungguhnya tidak
pernah eksis kecuali pada masa penjajahan kolonial Inggris di India sekitar
abad delapan belas.
II.
Rumusan Masalah
a. Apa pengertian ingkar as
sunnah ?
b. Bagaimana penjelasan kelompok Khawarij
?
c. Bagaimana penjelasan kelompok Mu’tazilah
?
d. Bagaimana penjelasan ingkar as
sunnah di zaman modern ?
e. Apa alasan ingkar as sunnah
dan counter ?
III.
Pembahasan
a. Pengertian ingkar as sunnah
Kata ingkar as sunnah terdiri
dari dua kata, yaitu “ingkar” dan “sunnah”. Kata ingkar berasal
dari bahasa arab : اَنْكَرَ ىُنْكِرُ اِنْكَارًا yang mempunyai beberapa arti di antaranya:
“tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak
mengetahui sesuatu (antonim kata al ‘irfan, dan menolak apa yang tidak
tergambarkan dalam hati). Misalnya firman Allah SWT yang artinya kurang lebih :
“Dan
saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir} lalu mereka masuk ke (tempat) nya. Maka
Yusuf Mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya.” (Q.S. Yusuf
: 58)
Menurut sejarah ketika terjadi musim paceklik
di Mesir dan sekitarnya, Maka atas anjuran Ya'qub, saudara-saudara Yusuf datang
dari Kanaan ke Mesir menghadap pembesar-pembesar Mesir untuk meminta bantuan
bahan makanan.
dan dalil lain nya yang artinya kurang lebih :
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya
dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Q.S. An Nahl :83)
Dari beberapa arti kata ingkar di
atas dapat di simpulkan bahwa ingkar secara etimologis diartikan menolak, tidak
mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir dan batin atau lisan dan hati
yang di latar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain, misalnya
karena gengsi, kesombongan, keyakinan, dan lain – lain. Sedangkan kata “sunnah”
secara mendetail telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.
Ada beberapa definisi ingkar as
sunnah yang sifatnya masih sangat sederhana pembatasannya, diantaranya
sebagai berikut :
1. Paham yang
timbul dalam masyarakat islam yang menolak hadits atau sunnah sebagai ajaran
agama islam kedua setelah Al Qur’an.
2. Suatu paham
yang timbul pada sebagian minoritas umat islam yang menolak dasar hukum islam
dari sunnah shahih baik sunnah praktis atau secara formal dikondifikasikan para
ulama, baik secara totalitas mutawatir maupun ahad atau sebagian saja, tanpa
ada alasan yang dapat diterima.
Definisi kedua lebih rasional yang
mengakumulasi berbagai macam ingkar as sunnah yang terjadi di
sebagian masyarakat belakangan ini terutama, sedang definisi sebelumnya tidak
mungkin terjadi karena tidak ada atau tidak mungkin seorang muslim mengingkari
sunnah sebagai dasar hukum islam.[1]
Ingkar
as sunnah adalah sebuah sikap penolakan
terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat
metodelogi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya
sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya.
Ada
tiga jenis kelompok ingkar as sunnah. Pertama, kelompok yang menolak
hadits – hadits Rasulullah SAW secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak
hadits – hadits yang tidak di sebutkan dalam Al qur’an secara tersurat atau
tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadits – hadits mutawatir (di
riwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau periodenya, tak mungkin mereka
berdusta) dan menolak hadits – hadits ahad (tidak mencapai derajat
mutawatir) walaupun shahih. Mereka beralasan dalam surat An Najm ayat 28yang artinya kurang lebih :
Artinya :
“Dan mereka
tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah
sedikitpun terhadap kebenaran.” (Q.S. An Najm : 28)[2]
b. Firqoh Khawarij
Asal mula kaum Khawarij adalah orang
– orang yang mendukung Sayyidina Ali. Akan tetapi, akhirnya mereka membencinya
karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim yang
sangat mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci Mu’awiyah karena melawan
Sayyidina Ali khalifah yang sah. Mereka dinamakan Khawarij karena mereka
memisahkan diri atau keluar dari jama’ah umat. Mereka menerima sebutan Khawarij
dengan pengertian sebagai orang – orang yang keluar pergi berperang untuk
menegakkan kebenaran.
Hal ini mereka dasarkan dalam surat
An Nisa’ ayat 100yang artinya kurang lebih :
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati
di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An Nisa’ : 100)
Kaum Khawarij kadang – kadang menamakan
diri mereka sebagai kaum Syurah, artinya orang – orang yang mengorbankan
dirinya untuk kepentingan ridha Allah SWT. Mereka mendasar pada surat Al
Baqarah ayat 207 yang artinya kurang lebih :
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Al Baqarah : 207).
Khawarij adalah nama yang sering di
pakaikan kepada golongan ini. Perkataan tersebut berasal dari kata kerja
Kharaja (telah keluar), dan mereka disebut Khawarij ialah karena mereka telah
keluar dari golongan Ali ra., padahal tadinya mereka adalah sebagian dari
pengikut – pengikutnya. Mereka sendiri menyebut diri mereka dengan syurah
(pembeli), yang berarti bahwa mereka membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan
duniawi. Arti ini sama dengan pengertian yang di atas, bahwa mereka mempertaruhkan
kehidupan dunia untuk kepentingan kehidupan akhirat kelak. [3]
Ajaran – ajaran pokok firqoh Khawarij
ialah khalifah, dosa, dan imam. Apabila firqoh syi’ah berpendapat bahwa
khalifah itu bersifat waratsah, yaitu warisan turun temurun, dan demikian pula
yang terjadi kemudian khilafah – khilafah Bani Umayah dan Bani Abbasiyah, maka
berbeda sama sekali pendirian Khawarij ini tentang khilafah.mereka menghendaki
kedudukan khalifah dipilih secara demokrasi melalui pemilihan bebas.
Ciri khusus orang – orang Khawarij
mempunyai pandangan yang radikal dan ekstrim, kecuali aliran al Ibadiyah yang
pendapatnya agak moderat.
c. Firqoh Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari
kata i’tazala, artinya menyisihkan diri. Berbeda – beda pendapat orang
tentang sebab musabab timbulnya firqoh Mu’tazilah itu.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan – persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat
filosofis daripada persoalan – persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan
Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat
nama “ kaum rasionalis islam “.
Orang pertama yang membina aliran
Mu’tazilah adalah Wasil bin Ata’. Sebagai dikatakan al Mas’udi, ia adalah Syaikh
al Mu’tazilah wa qadilmuha, yaitu kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia
lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Disana ia belajar pada
Abu Hasyim Abdullah Ibn Muhammad Ibn al Hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan
belajar pada Hasan al Basri.
Ajaran pertama yang di bawa Wasil
tentulah paham al manzilah bain al manzilatain, posisi di antara
dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini, orang yang berdosa
besar bukan kafir, sebagai di sebut kaum Khawarij, dan bukan pula mukmin
sebagai di katakan Murji’ah, tetapi fasiq yang menduduki posisi di antara
posisi mukmin dan posisi kafir.
Ajaran yang kedua adalah paham qodariah
yang di anjurkan oleh Ma’bad dan Ghailan. Tuhan, kata Wasil bersifat bijaksana
dan adil. Ia tidak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim. Tidak mungkin Tuhan
menghendaki supaya manusia berbuat hal – hal yang bertentangan dengan
perintah-Nya. Dengan demikian manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan baik dan perbuatan jahatnya, iman dan kufur nya, kepatuhan dan tidak
kepatuhannya kepada Tuhan.
Ajaran yang ketiga mengambil bentuk
peniadaan sifat – sifat Tuhan dalam arti bahwa apa – apa yang disebut sifat
Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri diluar dzat
Tuhan, tetapi sifat yang merupakan esensi Tuhan.[4]
Orang – orang Mu’tazilah giat mempelajari
filsafat Yunani untuk mempertahankan pendapat – pendapatnya, terutama filsafat
Plato dan Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatiannya, karena
menjunjung tinggi berfikir logis. Memang Mu’tazilah lebih mengutamakan akal
pikiran, dan sesudah itu baru Al Qur’an dan hadits atau تَقْدِىْمُ الْعَقْلِ عَلَي النَّصِ .
hal ini berbeda dengan golongan Ahlus sunnah, yang mendahulukan Al Qur’an dan
hadits, kemudian baru akal pikiran.
d. Ingkar as sunnah di zaman
modern
Sejak abad ketiga sampai abad
keempat belas Hijriah, tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan bahwa
dikalangan umat islam terhadap pemikiran – pemikiran untuk menolak sunnah
sebagai slah satu sumber syari’at islam, baik secara perorangan maupun
kelompok. Pemikiran untuk menolak sunnah yang muncul pada abad I H (ingkar
as sunnah klasik) sudah lenyap ditelan masa pada akhir abad III H.
Pada abad keempat belas Hijriah,
pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan, dan kali ini dengan bentuk
dan penampilan yang berbeda dari ingkar as sunnah klasik. Apabila ingkar
as sunnah klasik muncul di Bashrah, Irak akibat ketidaktahuan sementara
orang terhadap fungsi dan kedudukan sunnah, ingkar as sunnah
modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin
melumpuhkan dunia islam.
Muhammad Musthafa Azami menuturkan
bahwa ingkar as sunnah zaman modern lahir di Kairo Mesir pada masa
Syeikh Muhammad Abduh (1266 – 1323 H/ 1849 – 1905 M). Dengan kata lain, Syeikh
Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan ingkar as
sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih diberi catatan, apabila
kesimpulan Abu Rayyah dalam kitabnya Adhwa ‘ala As Sunnah al Muhammadiyah
itu benar.[5]
e. Alasan ingkar as sunnah
Diantara argumentasi yang dijadikan
pedoman ingkar as sunnah adalah sebagai berikut :
a. Al Qur’an
turun sebagai penerang atas segala sesuatu secara sempurna, bukan yang
diterangkan. Jadi, Al Qur’an tidak perlu keterangan dari sunnah, jika Al Qur’an
perlu keterangan, berarti tidak sempurna. Kesempurnaan Al Qur’an itu telah di
terangkan Allah SWT dalam Al Qur’anyang artinya :
“Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti
kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Q.S. Al An’am : 38)
[472]
Sebahagian mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul Mahfudz dengan
arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul Mahfudz.
dan ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan arti: dalam Al-Quran
itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan
pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan
makhluk pada umumnya.
“(dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada
tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan
kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan
kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (Q.S. An
Nahl : 89)
Dengan demikian
makna kesempurnaan kandungan Al Qur’an bukan berarti memisahkannya dari sunnah,
akan tetapi justru dengan mengkompromikan penjelasan sunnah sehingga
manusia mampu memahaminya dengan benar dan tidak di tafsirkan sekehendak
seseorang.
b. Penulisan sunnah
dilarang, seandainya sunnah dijadikan dasar hukum islam pasti Nabi tidak
melarang.
c. Al Qur’an
bersifat qath’i ( pasti absolut kebenarannya ) sedangkan sunnah bersifat
zhanni ( bersifat relatif kebenarannya ), maka jika terjadi kontradiksi
antar keduanya, sunnah tidak dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru.
Hal ini di dasarkan pada beberapa ayat dalam Al Qur’an yang perintah menjauhi zhann
seperti dalam surat Yunus ayat 36 :
“Dan kebanyakan
mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yunus : 36)
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan bahwa seluruh sunnah zhann tidak dapat
dijadikan hujjah dalam agama.
Demikian diantara argumentasi ingkar
as sunnah yang dikemukakan yang pada prinsipnya mereka menolak sunnah
karena ketidaktahuannya baik dari segi keilmuan hadits atau sejarah
terkodifikasinya. Disamping adanya pengaruh dari latar belakang pendidikan
agama yang tidak memenahi dan buku – buku bacaan tulisan kaum orientalis atau
yang sepemikiran dengan mereka. Jadi, jelaslah kiranya alasan – alasan ingkar
as sunnah sangat lemah dan hanya mempermainkan agama semata.[6]
IV.
Kesimpulan
Kata
ingkar as sunnah terdiri dari dua kata, yaitu “ingkar” dan “sunnah”.
Kata ingkar berasal dari bahasa arab : اَنْكَرَ
ىُنْكِرُ اِنْكَارًا yang
mempunyai beberapa arti di antaranya: “tidak mengakui dan tidak menerima baik
di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu (antonim kata al
‘irfan, dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati).
Asal
mula kaum Khawarij adalah orang – orang yang mendukung Sayyidina Ali. Akan
tetapi, akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan
kebenaran, mau menerima tahkim yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka
juga membenci Mu’awiyah karena melawan Sayyidina Ali khalifah yang sah. Mereka
dinamakan Khawarij karena mereka memisahkan diri atau keluar dari jama’ah umat.
Mereka menerima sebutan Khawarij dengan pengertian sebagai orang – orang yang
keluar pergi berperang untuk menegakkan kebenaran.
Kaum
Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan – persoalan teologi yang
lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan – persoalan yang
dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal
sehingga mereka mendapat nama “ kaum rasionalis islam “.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr.H.
Abdul Majid khon, M.Ag., Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 27-29.
Drs.
M. Agus Sholahudin, M.Ag dan Agus Suyadi,Lc. M.Ag., Ulumul Hadis,
Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm.207.
Prof.Dr.K.H.salihun
A. Nasir,M.Pd.I.,Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm.123-125
Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI
Press, 2011, hlm. 40.
[1] Dr.H. Abdul
Majid khon, M.Ag., Ulumul Hadis, Amzah, Jakarta, 2009, hlm. 27-29.
[2] Drs. M. Agus
Sholahudin, M.Ag dan Agus Suyadi,Lc. M.Ag., Ulumul Hadis, Pustaka Setia,
Bandung, 2009, hlm.207.
[3]
Prof.Dr.K.H.salihun A. Nasir,M.Pd.I.,Pemikiran Kalam (Teologi Islam),
Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm.123-125
[4] Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI
Press, 2011, hlm. 40.
[5] Drs. M. Agus
Solahudin, M.Ag dan Agus Suyadi, Lc. M.Ag., ibid., hlm. 215.
[6] Dr. H. Abdul
Majid khon, M.Ag.,ibid, hlm. 36.